Sunday, May 30, 2010

Bohong..


Ada sebuah film serial yang belakangan ini menarik perhatian saya. Sebenarnya ada beberapa film serial lagi seperti Flashforwad, NCIS: LA dan 24. Namun, yang satu ini sedikit unik dibanding ketiga film serial itu. Lie To Me, demikian judulnya. Mungkin saya sedikit telat, berhubung film seri ini sudah diputar di Amrik sana pada Januari 2009 lalu. Dan, bahkan sudah menyelesaikan season pertamanya. Tapi, berhubung saya baru belakangan mengikuti serial Lie To Me, saya pikir tidak ada salahnya saya menuliskan sedikit opini saya tentang film ini. Lagipula, walaupun ide utamanya adalah mengungkap kejahatan oleh institusi detektif federal paling kesohor di dunia, FBI, pendekatan dan upaya pengungkapan kejahatannya yang menarik bagi saya, mengungkap kebohongan.

Tokoh utama serial ini adalah Dr. Cal Lightman (Tim Roth), seorang psikiater yang memiliki kemampuan yang cukup unik, yaitu jeli dalam menganalisa microexpressions melalui Facial Action Coding System dan gerak tubuh (body language). Dalam serial ini, Dr. Lightman merupakan founder The Lightman Group, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kerap diminta bantuan oleh aparat penegak hukum. Dr. Lightman dibantu oleh Dr. Gillian Foster (Kelli Williams) yang merupakan seorang psikiater dan rekan sejawat Dr. Lightman, Eli Loker (Brendan Hines) dan Ria Torres (Monica Raymund). Kerap kali dalam perannya lembaga yang dipimpin Dr. Lightman dibantu oleh Ben Reynolds (Mekhi Phifer).

Sebenarnya, tokoh Dr. Cal Lightman diinspirasi oleh seorang pakar psikiatri emosi individu yang terpancar dari ekspresi wajah ternama dari University of California, Dr. Paul Ekman. Sementara itu, karakter Dr. Gillian Foster diadop dari Prof. Maureen O'Sullivan, seorang profesor psikologi dari University of San Francisco.

Disini saya tidak akan mengupas tentang cerita serial Lie To Me. Cuma saya terkadang berpikir, alangkah enaknya jadi Dr. Cal Lightman. Enak karena kemampuan Dr. Lightman bukanlah hal yang mustahil, semua dapat diungkap melalui ilmu pengatahuan. Dapat dipelajari. Ide atau teori yang dibangun oleh Dr. Lightman dan rekannya sebenarnya cukup sederhana, bahwa wajah adalah ekspresi jiwa. Dan kata orang bijak, jiwa manusia tidak pernah mengingkari kebenaran.

Bohong mungkin sudah kerap dilakukan. Orang berbohong tujuannya cuma satu, menyelamatkan diri. Apapun motif dan tujuannya, bohong adalah tindakan yang paling mudah dilakukan untuk terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Karena apa? karena berbohong adalah insting. Suatu sistem pertahanan diri alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia. Sama seperti halnya hewan karnivora yang memiliki insting pemburu.

Kita tidak dapat mengelak bahwa manusia pada dasarnya adalah pembohong. Insting berbohong itu sangat memengaruhi karakter seseorang. Asumsi saya, kemampuan berbohong akan semakin meningkat dengan semakin tingginya ilmu atau tingkat pendidikan seseorang. Manusia dengan tingkat pendidikan yang mumpuni, memiliki cara berpikir yang penuh dengan pilihan-pilihan. Pilihan yang disesuaikan dengan tujuan atau kehendaknya. Pilihan yang dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang paling menguntungkan. Pilihan yang sangat ditentukan oleh cara berpikir logika semata.

Namun, kita seakan lupa bahwa jiwa adalah inti dari pikiran dan logika. Jiwa merupakan ekspresi sesungguhnya dari karakter manusia. Tak heran, hampir semua agama menyatakan hanya jiwa yang sesungguhnya akan kembali ke Sang Pencipta. Semakin jauh dari Sang Pencipta, semakin tertutupi jiwa oleh naluri, insting dan nafsu untuk mencari kepuasan diri semata.

Monday, May 10, 2010

Nulis aja kok repot sih...

Posted by erdian on Aug 24, 2006 for everyone

Seorang temen berujar, "Erdian, tulisan kamu udah persis seperti pejabat. Bekas TEMPO-nya dah gk keliatan lagi". Begitu ujarnya. Saya jadi bertanya-tanya, apa emang begitu ya? kok bisa? kenapa, apa emang sayanya sendiri yang belum punya kapabilitas yang "baik" untuk membuat tulisan yang bagus, sesuai standarnya TEMPO? apa ilmu waktu ikut pelatihan jurnalistik di TEMPO dulu kagak ada yang masuk dan nempel sama sekali dikepala?

Menulis adalah skill yang menurut saya unik dan sangat khas sekali. Unik, karena tulisan mampu mengekspresikan segalam macam bentuk uneg2, pikiran, ide bahkan mampu menyuarakan suara qolbu sekalipun (artikel ilmiah, pantun, syair). Unik, karena lewat tulisanlah seseorang akan dilabeli dari "aliran" atau "kutub" mana dia berasal (ke-kiri2an, ke-kanan2an, posmo). Unik, karena lewat tulisanlah anda akan "berubah", dari orang biasa2 hingga dikenali bahkan dijadikan "acuan" dan "pedoman" oleh khalayak ramai (salah satu yang fenomenal adalah Karl "Charlie" Marx). Khas, karena untuk menuangkan ide dan pemikiran anda, dibutuhkan "sentuhan" atau touch yang membuat tulisan itu menarik dibaca, tidak membosankan, atau bahkan garing.

Jujur, jadi wartawan dalam waktu singkat (hanya sekira 9 bulan sahaja), memang belum menumbuhkan sense of writing saya. Tidak banyak yang diharap dalam waktu sesingkat itu. Atau mungkin sekali, walau dikasih kesempatan ber-tahun2 pun untuk menulis (berita), skills itu tetap tidak akan terasah kalo touch itu gk kunjung didapat. Perlu banyak latihan, belajar dan mau kerja keras untuk berubah.

Lebih menarik lagi, seorang temen berujar, "Lebih seru kalo kita dah mampu menulis dan merangkai logika berpikir dalam bahasa yang lain (selain bahasa Indonesia)". Teman itu beralasan, perlunya kita mengembangkan "wawasan" dan "khasanah" berpikir dalam menulis. Logika setiap bahasa itu pasti berbeda. Tidak hanya sekedar menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain kata per kata, tanpa mengerti logika yang terkandung di dalamnya. Walaupun maksudnya dapat dipahami, makna atau the essence yang terkandung di dalamnya belumlah tentu.

Sulit memang. Jangankan menulis dalam bahasa (yang) lain, dengan bahasa sendiri saja belum mampu menulis yang "baik" dan "benar". Gak heran, kalo orang2 "pintar" itu, katanya, mampu dengan mudah merangkai kata secara gamblang, runut dan dengan logika yang mudah dimengerti. 

Hmm.. kapan ya? Nulis aja kok repot sih....!!!

Sydney, 24 August '06

Erdian Dharmaputra

My Name is Earl

Posted by erdian on Sep 20, 2006 for everyone

Hmm.. ada satu lagi serial televisi yang menarik. Segar, gak membosankan, ringan dan tentunya jauh dari tema kriminal ataupun aksyen. Ini cerita mengandung unsur komedi yang kental. Bukan slapstick or lucu-lucuan ala Jim Carrey. Bukan. Mungkin sedikit mirip Scrubs atau Boston Legal, tapi dikemas dalam cerita berbeda.

My Name is Earl. Begitu judul serial yang dibintangi oleh Jason Lee, Ethan Suplee, Jaime Pressly, Eddie Steeples dan Nadine Velazquez. Ceritanya berkisar romantika kehidupan yang dialami oleh Earl J. Hickey, yang diperankan Jason Lee. Bermula dari Earl yang menang undian sebesar $100,000 mengalami kecelakaan sehingga dia harus dirawat di rumah sakit. Undiannya hilang. Saat dirawat inilah Earl mengalami suatu perubahan setelah nonton Carson Daly Show. Dia percaya bahwa setiap perbuatan pasti ada karmanya. Dia percaya bahwa setiap perbuatan baik akan membawa keberuntungan baginya. Mulailah ia membuat daftar kejahatan yang pernah ia lakukan. 100 perbuatan jahat harus dibalas dengan 100 perbuatan baik. Begitu yang ia yakini. Buktinya, setelah melakukan beberapa perbuatan baik, karcis undiannya kembali kepadanya. Dan Earl terus berupaya untuk berbuat baik, dan tentunya tidak mudah. Begitu kurang lebih tema cerita ini.

Earl merupakan sosok yang polos, IQ tidak terlalu bagus, namun cukup cerdik dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan dengan kepolosannya Earl mengajarkan banyak orang-orang "pintar" sadar akan kebodohan mereka.  

Disekitar kita sosok Earl mungkin sudah sangat jarang kita ketemui. Kiri kanan atas bawah kita sudah dipenuhi sosok-sosok orang "pintar". Orang-orang yang tidak lagi "polos" dalam perilaku, bertindak bahkan berpikir. Semua diterjemahkan dalam bentuk kepentingan pribadi. Kebaikanpun dimanipulasi. Kejujuran sudah lama mati. Semua ditimbang atas nama untung rugi. Logika ekonomi sudah jadi tradisi. 

Banyak orang "pintar" bilang, "Semua orang harusnya bisa berpikir seperti apa yang saya pikirkan". Dengan begitu, dunia akan jauh lebih baik. Jauh lebih modern dan beradab. Hmm.. apa iya? Akh... jangan terlalu banyak dipikirkan. Kata mamak, sakit kuning pulak nanti.  

Mungkin cuma Earl saja yang mengerti. Gak pernah berpikir untuk basa basi. Semua tergerak dari hati nurani untuk berbuat baik. Kalo di Indonesia, mungkin Earl ini cocok dipasangkan sama Bang Naga Bonar, mantan copet yang insyaf dan berjuang demi negara. Tak ada ambisi untuk jadi jenderal, sayang sama mamak, kompak sama kawan dan jantan ngadepin kompeni. Hmm..Gak kebayang kali ya, betapa indahnya dunia kalo semua orang berpikir polos kayak Bang Naga dan Earl. Gak ada itu yang namanya kasak kusuk terorisme, konflik etnis. Gak ada yang namanya manipulasi logika yang dilakukan oleh orang-orang "pintar" dibalik retorika ilmiah untuk membungkus rapat kemunafikan yang mereka simpan. Pembodohan atas nama intelektualtas.

Akh, mimpi rupanya. Bangun, bangun! Ini dunia nyata, Bung!

Sydney, 20 September 2006

Erdian Dharmaputra

Hidup adalah Crime Scene

Posted by erdian on Sep 19, 2006 for everyone

Setiap Minggu dan Selasa malam, kalo gak ada urusan yang terlalu penting, aku pasti menyempatkan diri untuk menyaksikan film serial tv, CSI (Crime Scene Investigation). Gampang ditebak, film ini mengisahkan seputar sepak terjang sekelompok personil Las Vegas Police Department (LVPD) dalam menungkap kasus-kasus kriminal. Bermodalkan ketelitian, kecermatan, menganut prinsip kehati-hatian dan off course, kecanggihan teknologi dalam mengolah bukti-bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP), tim ini berhasil mengungkap kasus yang mereka hadapi.

Serial yang dibintangi oleh William Petersen, Marg Helgenberger, Gary Dourdan, George Eads, Jorja Fox, Eric Szmanda, Robert David Hall dan Paul Guilfoyle, setiap minggunya menampilkan kasus-kasus yang berbeda. Semua kasus, tentunya, berkaitan dengan tindak kriminal kejahatan pembunuhan dan bagi mereka, tidak ada yang namanya 'a perfect crime'. Setiap kasus kejahatan pembunuhan pasti meninggalkan barang bukti atau evidence. Apakah itu cuma sehelai rambut, potongan kain, percikan darah, pecahan kaca atau apapun yang 'mencurigakan' di seputar TKP, pasti bermanfaat. Semua pasti mengarah ke petunjuk siapa pelaku atau suspect. Prinsip mereka, CSI: Where Evidence Never Lies.

Ada satu lagi serial yang (kurang lebih) sama. Criminal Minds. Serial baru. Gak terlalu baru juga sih, kurang lebih dah satu bulan ini main di Channel 7. Diputar tiap Senin malam. Aku jarang nonton, soalnya waktunya bersamaan pas baru pulang kuliah malam. Jadi, kadang pas nyampe rumah sudah capek. Gak sempat nonton. Tapi belakangan, aku sempatin terus. Karena ceritanya lumayan juga sih. Tema ceritanya sama, mengungkap kasus kejahatan pembunuhan. Berbeda dengan CSI, tim elit dari Behavioral Analist Unit FBI ini mengungkap kasus kejahatan dari pola kejahatan yang dilakukan si suspect. Mereka mengurai profiler si pelaku untuk menebak dan mengantisipasi tindak kejahatan berikutnya. Serial ini dibintangi oleh Mandy Patikin, Thomas Gibson, Lola Glaudini, Shemar Moore, AJ Cook dan Kirsten Vangsness.

Berbeda dengan CSI LVPD, tim elit FBI ini mengurai TKP bukan untuk mencari bukti kejahatan. Melainkan mencari pola dan mengungkap sisi emotional si pelaku yang tergambar dari TKP. Unik memang pendekatan yang dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Thomas Gibson yang berperan sebagai Special Agent Aaron Hotchner. Bagi mereka, kejahatan merupakan ekspresi emosional atau kejiwaan yang dialami oleh si pelaku.

Buat saya pribadi, kedua serial ini memberikan "sesuatu". "Sesuatu" yang mengajarkan kekuatan-kekuatan logika yang dirunut secara sistematis. Logika positivis katanya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan empirik, yang bisa diukur, dirasa bahkan dimanipulasi. Itu semua nyata. Tidak ada logika yang aneh dan dibuat-buat dan terbantahkan dari kedua serial itu. Ya, paling karena ini film dan menyangkut unsur-unsur komersil, semua kasus dapat dituntaskan dalam hitungan hari saja dalam durasi film yang sekitar 55 menit. Dan dipoles dengan "unsur-unsur ketidaksengajaan" menemukan titik terang mengungkap kasus ketika semua bukti dan anggota tim mengalami kebuntuan. Itu saja menurut saya. Biasalah khasnya film-film Amrik sana. Overall, isi ceritanya, logis.

Kita hidup di dunia yang sangat logis. Dunia dimana kekuatan logika menjadi Tuhan baru. Logika dengan daya magis yang bisa mengungkap rahasia-rahasia yang dulu dianggap tidak logis. Logika pulalah yang dijadikan identitas baru. Identitas yang diyakini sebagai tanda pengenal bahwa kita sudah menjadi bagian dari komunitas terhormat. Komunitas masyarakat modern. 

Memang, berpikir logis dan sistematis nampaknya sudah kartu mati dalam pergaulan masyarakat modern. Kalau anda tidak logis, berarti anda bukanlah bagian masyarakat modern. Kuno, kolot, gak modern, ketinggalan jaman. Gak ada itu yang namanya takhyul, supernatural, karomah atau hal-hal ghoib bin ajaib. Kita hidup di dunia riil, nyata.

Hidup kita ibarat crime scene. Diolah, dipilah, dicari, disusun dan diuraikan, bukan untuk menemukan tujuan hidup, tapi untuk meraihnya. Apapun yang terjadi dan dialami, adalah petunjuk untuk mencapai tujuan yang ingin diraih. Jadi pertanyaannya, apa tujuan hidup kita? Tentunya, ibarat film CSI dan Criminal Minds tadi, dari awal cerita kita sudah disuguhi kemana cerita akan mengalir. So, buat anda dan juga saya tentunya, kalau hingga pertengahan cerita hidup kita, kita belum tahu apa tujuan hidup..

Hanya Anda dan "mungkin juga Tuhan" yang tahu..   

Sydney 19 September 2006 (tengah malam)

Erdian Dharmaputra

Artikel FB tentang SMI

Berikut sebuah tulisan Faisal Basri tentang kepindahan Sri Mulyani Indrawati ke WB.
http://m.kompas.com/news/read/data/2010.05.10.04584520

Sunday, May 9, 2010

Maju Mundur Program KUR

Tulisan berikut ini dimuat pada Kontan Edisi Sabtu, 20 Maret 2010
(Erdian Dharmaputra)

Sejak digulirkan pada akhir 2008 lalu, realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh enam bank pelaksana (BNI, Mandiri, BRI, BTN, Bukopin dan Bank Syariah Mandiri) mencapai hingga Rp. 17,5 triliun rupiah. Dari angka realisasi tersebut, KUR dinikmati oleh lebih dari 2400 usaha mikro dan kecil (UMK) dengan pinjaman rata-rata sebesar Rp. 7,18 juta dengan outstanding per 31 Januari 2010 sebesar Rp. 7,93 triliun.

Bila dibandingkan dengan kredit program Pemerintah lainnya seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), KUR menunjukkan kinerja penyaluran yang cukup kinclong. KKP-E yang digulirkan sejak tahun 2007, realisasi kredit baru mencapai Rp. 8,6 triliun, sedangkan KPEN-RP yang telah dilaksanakan sejak tahun 2006 hanya sebesar Rp836 miliar dari komitmen 16 perbankan sebesar Rp. 36 triliun.

Tingginya penyaluran KUR tidak terlepas dari skema penjaminan kredit yang diberikan Pemerintah bagi para debitur. Dengan skema penjaminan ini beban perbankan terhadap risiko gagal bayar debitur KUR hanya sebesar 30%, sedangkan sisanya sebesar 70% ditanggung oleh Pemerintah melalui dua lembaga penjaminan kredit (Askrindo dan Jamkrindo). Laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat hingga Januari 2010, non-performing loan (NPL) KUR mencapai 5,85% atau sebesar Rp. 464 miliar. Ini berarti, Pemerintah melalui Askrindo dan Jamkrindo akan menanggung beban kurang lebih sebesar Rp. 250 miliar.

Namun demikian, Pemerintah tetap optimis dengan kinerja KUR, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan penyaluran KUR dapat mencapai Rp. 100 triliun dalam waktu lima tahun ke depan dalam kerangka program 100 hari pemerintahannya. Untuk itu, 13 bank pembangunan daerah (BPD) menyatakan ikut berpartisipasi dalam KUR mulai tahun 2010 ini. Di tengah optimisme Pemerintah, muncul kekhawatiran bahwa KUR tidak akan dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah.

Pertama, kemampuan keuangan lembaga penjamin. Askrindo dan Jamkrindo merupakan BUMN yang ditunjuk Pemerintah untuk melakukan penjaminan KUR. Kedua lembaga ini diwajibkan untuk mempertahankan kemampuan penjaminan dan kecukupan modal dengan gearing ratio sebesar 10:1. Artinya, dengan target KUR sebesar Rp. 100 triliun selama lima tahun, maka Askrindo dan Jamkrindo membutuhkan modal pejaminan sebesar Rp. 10 triliun. Dengan kata lain, diperlukan adanya tambahan modal dari Pemerintah sehingga keduanya mampu menjamin KUR, selain pembayaran imbal jasa penjaminan (IJP) yang dibayarkan Pemerintah kepada Askrindo dan Jamkrindo dengan tarif sebesar 3,25%.

Memang, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar dua triliun rupiah per tahun untuk penambahan modal tersebut, namun persoalan belum selesai. Akibat KUR, biaya operasional kedua lembaga penjamin ini akan meningkat, sehingga dibutuhkan biaya investasi dan pengembangan jaringan untuk tetap mempertahankan persyaratan gearing ratio sebagaimana ditetapkan dalam undang undang tentang lembaga penjaminan. Persoalan lain adalah masih adanya kewajiban lembaga penjamin, khususnya Jamkrindo, terhadap kredit program di masa lalu seperti Kredit Usaha Tani (KUT) yang hingga saat ini proses penyelesaiannya masih diaudit oleh BPK. Dalam KUT, Jamkrindo (dulu Perum PKK) merupakan lembaga penjamin kredit yang ditunjuk Pemerintah atas penyaluran kredit KUT yang saat ini macet hingga mencapai sebesar Rp. 5,7 triliun.

Persoalan kedua dan cukup penting adalah mengenai campur tangan Pemerintah dalam kebijakan pelaksanaan KUR. Boleh jadi Pemerintah mengklaim bahwa KUR merupakan program dan kebijakan pemerintah dalam upaya pemberdayaan UMK. Namun, hal ini tidak serta merta Pemerintah dapat bertindak “egois”. Perlu diingat, penyaluran KUR bersumber dari dana perbankan, sehingga sedikit banyak memengaruhi rencana bisnis pembiayaan mereka. Belum lagi, hampir semua perbankan pelaksana KUR terlibat dalam berbagai kredit program pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di lain pihak, mereka dituntut untuk memenuhi target penyaluran KUR, dimana hal yang sama juga dilakukan pada KKP-E dan KPEN-RP.

Sebagai satu contoh, Pemerintah meminta perbankan untuk menyalurkan KUR sektor pertanian sebesar 25%, sementara di saat yang sama penyaluran KKP-E harus ditingkatkan. Akibatnya, KUR dan KKP-E akan saling berhadapan dan menyebabkan salah satu target tidak dapat terpenuhi (bayangkan tingkat bunga KUR 14% dibanding dengan KKP-E yang hanya 6% karena subsidi bunga Pemerintah). Kondisi ini mengesankan tidak ada koordinasi pada internal Pemerintah dalam menyusun kebijakan kredit program bagi UMK. Sehingga, menyebabkan kegamangan dan keraguan bagi perbankan untuk turut serta secara aktif apabila dibebani dengan target. Apalagi, terdapat kesenjangan antara tingkat bunga kredit program yang cenderung lebih rendah dibanding tingkat bunga kredit komersial untuk kredit mikro (s.d. Rp. 5 juta). Dengan kata lain, bank lebih cenderung menyalurkan kredit komersial karena pendapatan bunga yang lebih menarik dibanding kredit program.

Ketiga, kegagalan KUT dan kredit program di masa lalu hendaknya dapat dijadikan pengalaman berharga bagi pemerintah dalam rangka kebijakan pengembangan UMK melalui KUR. Dampak kegagalan KUT telah menyebabkan banyak UMK tidak mampu mengakses pembiayaan baru karena masih memiliki tunggakan kredit. Selain itu, peran pemerintah yang cukup besar dalam persoalan teknis dan berorientasi pada target penyaluran juga memberikan kontribusi cukup signifikan dalam tunggakan KUT sebesar Rp. 5,7 triliun. Seharusnya, peran pemerintah lebih difokuskan pada kelompok sasaran dan upaya optimalisasi terhadap kapasitas serta potensi UMK. Persoalan teknis penyaluran dan penilaian kelayakan kredit tetap pada perbankan yang memang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu.

Keempat, KUR sudah menjadi iconic program ekonomi kerakyatan dan menjadi salah satu elemen penting dalam pencitraan Pemerintahan SBY. Begitu pentingnya KUR, tujuh Kementerian terlibat secara langsung untuk mengawal suksesnya program KUR dengan menandatangani Nota Kesepahaman Bersama dengan enam bank dan dua lembaga penjaminan. Dikutip dari Kompas.com, Meneg. Koperasi menyatakan bahwa KUR merupakan salah satu solusi bagi UMK terhadap China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Menteri juga mengungkapkan bahwa KUR menjadi instrumen penting untuk mengurangi angka kemiskinan hingga turun menjadi 8-10% pada tahun 2014, terutama bagi UMK yang memiliki akses pembiayaan hingga Rp. 5 juta. Konsekuensi dari kebijakan pemerintah ini, perbankan diminta untuk meningkatkan penyaluran KUR hingga Rp. 20 triliun per tahun untuk memenuhi target pemerintah.

Namun di sisi lain, perbankan mengungkapkan hendaknya mereka tidak dibebani oleh target penyaluran pemerintah. Kebijakan Pemerintah untuk merelaksasi penyaluran KUR, yaitu dengan mempermudah persyaratan bagi calon UMK memeroleh KUR, tidak serta merta memberikan kemudahan bagi perbankan. Perbankan masih khawatir pada masih tingginya NPL dan kelompok sasaran KUR yang relatif baru memulai usahanya. Walaupun pemerintah menanggung risiko sebesar 70%, bank tetap memiliki risiko tinggi terutama bagi UMK dengan pinjaman KUR sampai dengan Rp. 5 juta (mikro), karena tidak diwajibkan agunan. Bila melihat kinerja KUR selama ini, penyaluran KUR BRI mikro mencapai Rp. 9,68 triliun (55%) dan NPL mencapai 6,35%, dengan adanya persyaratan agunan tambahan. Namun, dengan tidak diwajibkan agunan tambahan bagi KUR mikro mulai tahun 2010, dikhawatirkan akan memengaruhi penyaluran walaupun diimingi dengan tingkat bunga sebesar 22%. Dengan kata lain, agunan tambahan yang digunakan bank untuk menutupi bagian risiko 30% kini tidak dapat lagi digunakan, sehingga bank cenderung untuk mengalihkan fokus penyaluran KUR pada UMK dengan plafon pinjaman s.d. Rp. 500 juta yang masih diwajibkan menyertakan agunan tambahan.

Kelima, pemerintah memperluas cakupan penyaluran dengan menerapkan pola channeling, dimana bank pelaksana KUR dapat melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan non-bank seperti BPR. Di satu sisi, kebijakan ini memberikan kesempatan yang lebih luas bagi UMK yang berada di daerah-daerah terpencil dan tidak terjangkau oleh bank pelaksana KUR selama ini. Namun di sisi lain, pemerintah hendaknya memerhatikan biaya dana (cost of fund) dari lembaga channeling dalam penyaluran KUR. BPR cenderung memiliki biaya dana relatif lebih tinggi dari bank yang dihitung dari kewajiban dan biaya lainnya seperti operasional. Dengan “hanya” tingkat bunga 22% efektif per tahun, apakah mampu menutup biaya-biaya yang dikeluarkan oleh BPR guna menyalurkan KUR? Umumnya, BPR masih menerapkan tingkat bunga relatif cukup tinggi dibanding dengan tingkat bunga perbankan, sekitar 26% s.d. 35% ditambah agunan tambahan.

Terakhir, KUR hendaknya tidak selalu menjadi slogan atau komoditas politik bagi golongan tertentu sehingga nanti setelah 2014 kredit program ini tetap berjalan. Tidak perlu mengidentikkan secara politis bahwa KUR adalah SBY, SBY adalah KUR. Yang perlu adalah, kredit program, apapun namanya, hendaknya tetap menjadi salah satu bagian penting dalam pemberdayaan pelaku UMK. Stereotype bahwa kredit program merupakan komoditas politik dan merupakan program “bagi-bagi” duit hendaknya tidak lagi menjadi perdebatan. Pengalaman KUT dan kegagalan masa lalu sudah terlalu besar untuk diulangi lagi di masa-masa mendatang. Semoga.

*penulis tinggal di Jakarta, pemerhati masalah UMK

Thursday, May 6, 2010

Dia... Sri Mulyani Indrawati


Entah kenapa saya sedikit tercenung begitu mendapat sebuah pesan Blackberry Messenger dari seorang teman bahwa Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI) akan segera meninggalkan kami. Teman itu meneruskan sebuah berita yang ia unduh dari sebuah majalah berbahasa Inggris.
Sontak saya berpikir, inikah akhir dari tekanan politik yang lebih setahun ini dipikul oleh SMI? Antara kehilangan dan syukur, perasaan yang saya rasakan. Saya merasa kehilangan seorang 'role model' birokrat sejati. Saya sadar, SMI bukanlah berasal dari kalangan birokrat. Tetapi SMI berhasil memberikan contoh bahwa birokrat adalah persoalan profesionalitas, integritas dan kemauan untuk berubah. Sesuatu yang sudah hampir terlupakan. Sesuatu yang menyadarkan arti dan peran seorang birokrat. Sesuatu yang dikenal dengan REFORMASI BIROKRASI yang seolah mampu 'membangunkan' para birokrat yang dicap sebagai 'mesin' yang lamban, tambun dan tidak efisien.
Kehilangan, saat pekerjaan besar reformasi belum selesai, SMI harus pergi. Kehilangan, saat SMI diminta untuk mengakhiri masa tugasnya. Kehilangan, saat terakhirnya bersama kamipun orang-orang diluar sana masih ingin menambah beban yang harus dipikulnya.

Saya menyadari bahwa dibalik perasaan kehilangan, rasa syukur cukup besar saya rasakan. Saya bersyukur karena saya diberi kesempatan menjadi salah satu bagian dalam pekerjaan besar SMI. Saya bersyukur bahwa akhirnya sosok birokrat sejati saya dapatkan dari seorang SMI.
Saya bersyukur SMI telah menjadi sosok seorang role model bagi semua birokrat di negeri ini atau setidaknya buat saya pribadi. Namun, terakhir rasa syukur saya adalah dibalik semua tekanan dan cobaan yang dihadapi, SMI tetap tegar, tetap bekerja keras dengan profesional dan penuh integritas.
Setidaknya, saya juga bersyukur ditengah cobaan yang dihadapi, masih ada orang-orang yang mengapresiasi kapabilitas dan profesionalisme SMI. Dan sayangnya, penghargaan itu tidak datang dari negeri ini. Negeri yang selalu diimpikan oleh SMI sebagai negeri yang bermartabat, negeri yang
bersih, negeri dimana birokratnya menjadi motor untuk membawa perubahan yang lebih baik. Negeri dimana SMI dapat menyumbangkan seluruh tenaga dan pikirannya yang 'sangat unik' bagi perubahan birokrasi yang lebih baik. Negeri dimana para birokratnya tidak lagi merasa inferior dengan bangsa dari negara lain, namun superior bila hendak melayani bangsa sendiri. Rasa syukur bahwa dengan perginya SMI, birokrat di negeri ini dapat leluasa memilih: teruskan perubahan atau kembali ke belakang.

"Lanjutkan reformasi karena anda cinta negara ini". Itu pesan SMI kepada kami..
Selamat Jalan SMI. The World Awaits You...