Friday, June 12, 2009

Artikel Kompas

Sebuah artikel menarik tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR), sebuah program pembiayaan bagi usaha mikro dengan pola penjaminan. Silahkan klik di sini. Semoga bermanfaat.

Monday, June 1, 2009

Cermati Presiden Pilihan Anda

Menjelang Pemilu Presiden (pilpres) pada awal bulan depan, (seperti biasa) kegiatan "sosialisasi" citra dan sosok capres dan cawapres kembali menjadi tajuk berita pada berbagai media. Kegiatan sarasehan, peresmian ini-itu, pengajian dan lain-lain mendadak menjadi agenda rutin setiap capres-cawapres. Bahkan, salah satu kandidat capres mengaku dalam satu hari bisa menghadiri kegiatan model begini sampai 12 kali! Wuiih, perlu stamina yang lebih niy.. :).

Sudah menjadi hal yang "biasa", para calon pres dan wapres ini mendadak sangat mudah ditemui atau bahkan hadir saat diundang dalam kegiatan2 yang melibatkan massa. Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan dan 'kurang penting' pada saat mereka terpilih atau bahkan ketika menjadi pecundang. Sangat jarang seorang capres/cawapres ketika kalah pada pilpres sebelumnya tampil dalam hal2 serupa. Entahlah, apa karena media tidak meliput atau seperti dugaan saya, bahwa mereka lebih sibuk pada urusan intern partainya dengan sekali-sekali mengkritik pemerintah yang berkuasa.

Para kandidat, seperti yang tampil pada layar kaca, mejadi lebih perhatian dan peduli atas keluh kesah yang disampaikan oleh massa. Bahkan di salah satu talkshow interaktif dengan para masyarakat usaha mikro dan kecil, semua uneg2 itu ditanggapi serius dan dijanjikan oleh capres itu akan segera ditindaklanjuti. Salah satu hal menjadi perhatian saya adalah ketika salah seorang perwakilan petani menyampaikan uneg2nya tentang hasil komoditasnya yang tidak dapat menyukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini diakibatkan tingginya ongkos produksi dan kurangnya akses modal serta informasi distribusi yang sangat terbatas. Sang capres lalu menanggapi akan segera meminta departemen terkait untuk segera menuntaskan persoalan tersebut sesegera mungkin.

Buat saya, persoalan ini bukan serta merta selesai atau tidak dalam waktu cepat. Persoalan mendasar sehingga permasalahan yang dihadapi oleh petani tadi bahkan sebagian besar petani kita, adalah masalah kebijakan yang disampaikan pemerintah tidak pernah konsisten dan tidak memiliki cetak biru pembangunan pertanian nasional. Hal ini disebabkan para capres tidak secara gamblang memperhatikan kesinambungan antara program dan kebijakan pembangunan yang dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Perbedaan platform program itu pasti, namun harus pula mempertimbangkan bahwa program yang tengah berjalan dan secara nyata berdampak langsung pada perbaikan ekonomi rakyat, kenapa mesti diputus? Atau menciptakan program dan kebijakan baru yang sejenis dengan kebijakan sebelumnya?

Contoh kongkrit adalah kebijakan kredit program yang merupakan kebijakan dan program pemerintah untuk pengembangan usaha produktif. Kebijakan ini telah berjalan sejak satu dasawarsa lalu, dan hingga saat ini tetap berjalan. Yang berubah adalah penyesuaian2 kebijakan yang saat ini dianggap berpotensi menimbulkan tidak efisiennya pengeluaran negara.

Dan, satu lagi, sepertinya jualan program pro rakyat dan ekonomi kerakyatan yang diusung oleh capres pada pilpres mendatang, menurut saya, lebih merupakan strategi penggalangan dukungan. Bukan pada program kongkrit yang dapat dilaksanakan apabila sang capres memerintah. Jargon ekonomi kerakyatan, saya menduga, lebih karena kenyataan bahwa salah satu kandidat capres/cawapres memiliki rekam jejak tingkat pengetahuan akademis yang lebih baik dibanding capres lain (bukan pada rekam jejak kebijakan yang dibuat sebelumnya). Ini terlihat dari upaya mengaburkan makna paham "NEOLIBERALISM" menjadi seolah-olah merupakan bahaya laten layaknya bahaya komunisme (sebagaimana disampaikan salah satu anggota tim sukses di media cetak). Saya sangat khawatir, jargon2 'PRO RAKYAT' semata-mata lebih pada upaya tujuan jangka pendek, tidak kongkrit. Jadi, cermati pilihan anda.

Salam.

Monday, April 27, 2009

Bank Pertanian, Perlukah?

Beberapa minggu belakangan ini, seringkali saya mendengar beberapa pihak mengemukakan bahwa untuk mempercepat pemberdayaan sektor pertanian diperlukan adanya satu lembaga pembiayaan/keuangan khusus membiayai kegiatan usaha sektor-sektor produktif pertanian, terutama bagi usaha pertanian produktif skala mikro dan kecil. Lembaga tersebut, menurut mereka, mengadopsi model pembiayaan perbankan namun hanya terbatas bagi pertanian, tidak pada sektor-sektor lain sebagaimana umumnya perbankan yang ada saat ini. Usulan ini menarik, mengingat secara rata-rata penyaluran pembiayaan/kredit pertanian dibanding sektor lain (perdagangan, konstruksi, jasa dll) masih cukup rendah, yaitu hanya sekira dibawah 10%. Salah satu penyebabnya adalah karena pembiayaan kegiatan usaha pertanian, bila dilihat dari sisi risiko pembiayaannya, relatif lebih besar ketimbang sektor lain. Sehingga, bagi perbankan hal ini menjadi acuan mendasar sebelum memutus kredit, selain masalah collateral (agunan).

Wacana pembentukan bank pertanian sendiri sebenarnya bukan hal baru. Beberapa waktu lalu (1988), Bank Agroniaga yang dibentuk oleh BUMN Perkebunan Nusantara dan sebagaimana visinya Bank ini ditujukan untuk mengembangkan sektor agribisnis sebagai fokus utamanya, walaupun secara umum terjun pada sektor lainnya. Dan, juga telah banyak publikasi yang mengulas peran pentingnya Bank Pertanian seperti halnya disini.

Lalu, belakangan muncul lagi "wacana" pembentukan Bank UKM oleh Meneg. Koperasi dan UKM. Walaupun tidak secara spesifik fokus pada sektor pertanian, Bank UKM ini (katanya) hanya akan melayani pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan koperasi yang bergerak pada usaha produktif pada semua sektor ekonomi. Bahkan, "embrio" Bank UKM ini telah dibentuk oleh Meneg. Kop dan UKM, yaitu Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB). Bahkan, katanya, pembentukan Bank ini akan dilaksanakan pada waktu dekat. (Ini akan saya bahas pada tulisan berikutnya)

Mengapa pertanian, terutama bagi pelaku usaha mikro dan kecil, menjadi begitu penting sehingga perlu diperlakukan secara "khusus"? Banyak alasan yang dapat dipaparkan untuk menjawab pertanyaan ini, dan mungkin ruang blog ini tidak akan cukup memaparkan hal itu. Beberapa diantaranya, dan yang paling prinsipil adalah karena sektor pertanian merupakan kegiatan yang paling sesuai dengan kondisi geografis dan tipikal bangsa ini sejak dulu. Namun, pada saat bersamaan, potensi ini cenderung kurang mendapat perhatian, terutama dari sisi pembiayaan. Memang, setiap tahun Pemerintah selalu mengalokasikan anggaran bagi pengembangan usaha pertanian, baik berupa subsidi maupun bantuan langsung dalam bentuk dana dan alat2 pertanian (alsintan).

Peranan Pemerintah yang diwujudkan dalam APBN tidak diikuti dengan program pembinaan yang signifikan oleh instansi-instansi terkait. Lemahnya koordinasi pelaksanaan program pembangunan pertanian, terutama antara Pusat dan Daerah mengakibatkan hingga saat ini (setahu saya), Indonesia belum punya cetak biru pembangunan pertanian yang jelas. Selama ini, pertanian diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Itu saja. Kalaupun ada upaya pengembangan pertanian ke arah industri yang lebih berpihak pada petani, misalnya KUT, PIR, tidak diikuti oleh konsep yang jelas target dan sasaran pemberdayaan petani. Akibatnya, banyak kredit program kurang berhasil, dan bahkan tidak sedikit petani yang hingga saat ini masih terbelit utang dan menjadi korban. Peran penyuluh pertanian pun sepertinya "nyaris tak terdengar". Masalah kualitas penyuluh kerap kali menjadi persoalan. Ada yang bilang, hal ini diakibatkan rendahnya kompensasi yang diterima oleh para penyuluh.

Berbagai kendala dan hambatan itulah, wacana Bank Pertanian akhir-akhir ini kembali diungkapkan. Namun, buat saya, sepertinya perlu kajian mendalam sebelum rencana ini dilaksanakan. Tujuan pembentukan bank ini, saya rasa tidak ada yang menyangkal, pemberdayaan dan pengembangan usaha pertanian yang lebih berpihak pada petani skala mikro dan kecil sangat perlu didukung. Yang perlu dikaji adalah model, peran dan skema bisnis pertanian yang akan dikelola oleh Bank Pertanian ini. Sebagai lembaga perbankan, bank ini tunduk pada peraturan Bank Indonesia, terutama menyangkut ketentuan dan kriteria penyaluran kredit, tingkat kecukupan modal, batas pinjaman macet (NPL), dan ketentuan lainnya sebagaimana bank konvensional yang ada saat ini.

Kajian Litbang Deptan mengemukakan perlu adanya syarat mutlak yang harus dapat dipenuhi sebelum bank ini dibentuk. Diantaranya, masalah SDM, manajemen, teknologi informasi dan peranan pemerintah. Selebihnya, operasionalisasi bank pertanian dapat mengadopsi bank pertanian yang telah dipraktekkan oleh negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Korea dan lain-lain. Perlu disadari bahwa potensi dan kondisi pertanian Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara tersebut, sehingga untuk memenuhi persyaratan tadi dibutuhkan waktu yang sangat lama dan butuh biaya yang sangat besar. Peranan Pemerintah saat ini untuk pengembangan pertanian (rasanya) sudah cukup memadai. Persoalannya justru pada pelaksanaanya dan koordinasi antar instansi baik pusat maupun daerah. Saya khawatir, apabila pembentukan Bank Pertanian ini dipaksakan akan menjadi sangat tidak efektif.

Kondisi riil yang mungkin sangat realistis dan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat adalah memaksimalkan peran perbankan nasional, terutama yang berstatus BUMN seperti BRI, Mandiri, BNI dan bank lainnya. Jaringan, sistem, operasional dan SDM hampir sudah dapat dipenuhi oleh perbankan nasional ini. Tinggal, bagi saya, Pemerintah perlu memikirkan agar kegiatan usaha pertanian/agribisnis menjadi menarik, feasible, memiliki pasar yang jelas dan memastikan ketersediaan dukungan jaringan infrastruktur bagi petani. Kredit program yang ada (KKP-E, KPEN-RP, KUR) merupakan "ruh" dari kerjasama Pemerintah dan Perbankan untuk meningkatkan potensi pertanian dan perluasan akses pembiayaan.

Hanya saja, perlu disesuaikan agar skim kredit program ini menjadi lebih menarik, tidak hanya memberikan kesempatan luas bagi petani untuk akses dana dan pengembangan usaha tetapi juga memberikan insentif kepada perbankan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan kredit program oleh perbankan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan bisnis dan kinerja kredit. Untuk itu, apabila Pemerintah ingin berupaya mempercepat program pengembangan pertanian, setidaknya perlu mempertimbangkan insentif kepada perbankan ini, seperti peninjauan margin tingkat bunga, sosialisasi potensi pertanian dan adanya penjaminan Pemerintah terhadap objek pendanaan.

Monday, April 6, 2009

Kredit Program di Persimpangan Jalan (?)


Akhir pekan lalu, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sehingga menjadi 7,5%. Bila dilihat kembali, sejak Desember 2008 lalu, BI telah menurunkan tingkat bunga acuan ini sebanyak empat kali dengan penurunan sebesar 200 basis poin (sekira 2%). Melongok ke belakang, progresivitas BI menurunkan suku bunga acuan ini tidak terlepas dari kondisi makro ekonomi yang terjadi secara global dan berdampak signifikan bagi perekonomian nasional, terutama untuk menekan laju inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia. Setidaknya, kondisi itulah yang menjadi pertimbangan utama BI sebagaimana diungkapkan oleh Gubernur BI Boediono (Tempo,6/4).

Penurunan BI rate diharapkan dapat memicu aktifitas pembiayaan yang dilakukan perbankan, yaitu dengan menurunkan interest rate. Upaya peningkatan pembiayaan bagi sektor-sektor produktif, merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengurangi dampak inflasi dan ancaman krisis ekonomi. Namun, pada saat bersamaan, kondisi likuiditas perbankan berada dalam kondisi yang kurang menggembirakan. Dampak krisis pembiayaan sub-prime morgage di AS ternyata memberikan efek domino bagi pasar uang domestik, sehingga perbankan sangat selektif dalam ekspansi pembiayaan. Akibatnya, sejak akhir Desember 2008 lalu, pembiayaan perbankan menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya perbankan semakin giat mencari sumber likuiditas dan sepertinya enggan untuk melakukan penyesuaian tingkat bunga kredit, termasuk salah satunya untuk pembiayaan kredit program.

Umumnya, pembiayaan kredit program yang dijalankan Pemerintah dengan bekerja sama dengan Perbankan memiliki struktur pembiayaan mengikuti perkembangan tingkat bunga pasar, yaitu mengikuti tingkat bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral (BI) atau lembaga penjaminan simpanan (LPS). Memperhatikan kondisi pangsa pembiayaan yang terjadi saat ini, dimana tingkat bunga perbankan tidak lagi mengacu kepada tingkat bunga acuan, tentunya terjadi kondisi perbedaan penerapan tingkat bunga kredit program. Sebagai ilustrasi, rata-rata tingkat bunga kredit komersial yang berlaku saat ini berkisar antara 15% hingga 17%, dimana seharusnya dengan mengacu BI rate 7,5%, maka tingkat bunga ideal berkisar antara 11% hingga 12-12,5%. Untuk kredit program (dengan pola subsidi bunga) misalnya, tingkat bunga rata-rata berkisar 13,25% s.d 14,25% (dengan tingkat bunga LPS saat ini sebesar 8,25%).

Memperhatikan hal tersebut di atas, terdapat perbedaan tingkat bunga yang relatif signifikan antara tingkat bunga pasar dan tingkat bunga kredit program. Dan tentunya, secara logis, alternatif pembiayaan yang dipilih perbankan adalah yang memberikan margin bunga yang lebih menguntungkan. Lalu, bagaimana dengan kredit program?


Strategi kebijakan yang berpihak kepada UMK sepertinya lebih realistis ketimbang Pemerintah menerapkan kebijakan yang cenderung berpihak kepada perbankan. Memang, Pemerintah tidak bisa mengesampingkan kondisi sulit yang sedang dihadapi perbankan, dimana terdapat kecenderungan pada akhir-akhir ini sangat intensif menghimpun sumber-sumber likuiditas (dengan iming-iming bunga deposito tinggi yang jauh dari BI rate. Akibatnya, terjadi perang bunga deposito dengan iming-iming bunga tinggi, yaitu hingga mencapai 11-12%). Tak dapat dipungkiri bahwa, langkah ini dilakukan agar tidak bernasib sama seperti yang dialami oleh Bank Century.

Untuk itu, perlu kebijakan/regulasi yang lebih memprioritaskan pada upaya percepatan pemulihan ekonomi secara makro yaitu dengan menjaga kestabilan nilai tukar, menekan laju inflasi dan lebih penting lagi pada saat sekarang ini adalah penciptaan investasi-investasi baru yang lebih menarik. Sebenarnya sudah ada beberapa kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan dan perkuatan modal bagi UMK sebagai investasi baru yang cukup menarik, diantaranya pengembangan infrastruktur dengan pola kemitraan Pemerintah-Swasta (Public Private Partnerships), pemberdayaan pertanian terutama pengembangan hasil-hasil perkebunan dan peternakan. Namun, dari kacamata perbankan, yang dibutuhkan saat ini adalah investasi jangka pendek, yang memberikan margin keuntungan maksimal. Dan sayangnya, investasi jangka pendek sektor pertanian masih belum menjadi skala prioritas pembiayaan perbankan, terutama pada skim kredit program.

Sebagai salah satu program pemberdayaan sektor usaha mikro, tentunya permasalahan yang dihadapi kredit program ini telah menjadi concern Pemerintah. Ditambah lagi dengan kondisi pasar komoditas pertanian dunia yang masih belum menggembirakan. Hal ini mengharuskan Pemerintah -tentunya dengan partisipasi perbankan nasional -harus lebih "kreatif" menanggapi kondisi tersebut di atas. Diperlukan insentif atau kebijakan yang lebih diarahkan untuk memberikan perlindungan kepada para pelaku UMK, terutama pada sektor-sektor strategis seperti pertanian. Misalnya, memberikan jaminan tingkat bunga rendah, perluasan akses pasar dengan menjamin pembelian produk-produk UMK, memperkuat jaringan penyuluh pertanian di lapangan, perkuatan modal bagi UMK dan menjamin pasokan dan distribusi alat-alat/komponen produksi -terutama pupuk untuk petani.

Dengan memberikan akses dan jaminan distribusi produk-produk UMK dan pertanian pada pasar domestik/internasional, memperkuat permodalan (sebagai salah satu syarat pembiayaan) dan menjamin ketersediaan sarana pendukung lainnya (pupuk, irigasi, bibit dan lainnya), maka rasanya sangat kurang pantas apabila ada perbankan yang tidak mau membiayai kegiatan UMK ini.

Friday, February 13, 2009

(Sebagian lagi) Catatan Kecil 2008

Berikut tulisan saya untuk sebuah majalah intern kantor (yang gk jelas kapan majalahnya terbit :(). Mudah2an bisa bermanfaat. Trims dan selamat membaca ya.

KPPN Percontohan, Langkah Awal Menuju Pelayanan Prima

Sejak reformasi birokrasi dilaksanakan oleh Departemen Keuangan pada tahun 2007, fokus utamanya diarahkan pada empat sasaran, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan business process, peningkatan manajemen SDM dan perbaikan struktur remunerasi.

Menindaklanjuti upaya tersebut dan dalam rangka mewujudkan good governance serta meningkatkan layanan kepada masyarakat, sejak 30 Juli 2007 Ditjen Perbendaharaan telah memulai operasionalisasi 18 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan di 17 ibukota provinsi, yang diikuti 9 KPPN Percontohan tahap kedua pada 1 Pebruari 2008. Sehingga dengan demikian sampai saat ini terdapat 27 kantor pelayanan percontohan di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang dimaksudkan agar peningkatan kualitas pelayanan KPPN semakin luas dirasakan oleh masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa layanan publik yang diselenggarakan oleh kantor pemerintah selama ini pada umumnya menggambarkan sifat dan sikap birokrasi yang negatif. Ia identik dengan kondisi pelayanan yang serba lamban, yang berbelit-belit, yang tidak memiliki kepastian, yang tidak transparan, dan bahkan pada tingkat tertentu diwarnai dengan pungutan tidak resmi. Kondisi ini tentunya harus diubah menjadi layanan yang cepat, akurat, sederhana dan transparan serta bebas pungutan. Sudah saatnya kantor pelayanan harus memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat dan menghilangkan kondisi stigmatik negatif yang selama ini melekat pada birokrasi.

Sesuai dengan agenda reformasi birokrasi, KPPN Percontohan telah berhasil menyederhanakan proses kerja penyelesaian Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Non Belanja Pegawai atas Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh satuan kerja. Penerbitan SP2D yang selama ini diselesaikan dalam waktu 1 (satu) hari, dapat diselesaikan maksimal dalam waktu 1 (satu) jam sejak SPM diterima secara lengkap dan memenuhi syarat. Satuan kerja cukup berurusan pada satu tempat pelayanan (front office) dan langsung memperoleh kepastian atas penyelesaian SPM yang diajukan, dan apabila tidak lengkap atau tidak memenuhi syarat langsung diberitahukan/dikembalikan kepada pihak satker selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk dilakukan perbaikan. Percepatan yang cukup signifikan tersebut dilakukan melalui penyederhanaan proses penyelesaian pekerjaan, penggunaan teknologi informasi, serta dukungan SDM yang diseleksi secara ketat.

Sebagai ujung tombak pelaksanaan pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, pembentukan KPPN Percontohan semakin memperluas cakupan layanan prima kepada mitra kerja. Sesuai hasil survei Universitas Indonesia tentang kepuasan masyarakat terhadap kinerja jajaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang diselenggarakan baru-baru ini, menunjukkan bahwa kinerja jajaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan, terutama melalui KPPN Percontohan meningkat secara signifikan. Keberhasilan lainnya yang diraih adalah keberhasilan KPPN Percontohan Makassar II meraih Juara Nasional Pelayanan Masyarakat antar kantor pelayanan pemerintah pada tahun 2008 ini. Perluasan pembentukan KPPN Percontohan dan berbagai keberhasilan tersebut diharapkan menjadi bagian dari kontribusi nyata Direktorat Jenderal Perbendaharaan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi di Pemerintahan, khususnya pada Departemen Keuangan.

Menilik ke awal pembentukan KPPN Percontohan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ini merupakan komitmen Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Komitmen bukanlah suatu hal yang main-main. Pencideraan terhadap komitmen berakibat lunturnya kepercayaan masyarakat. Faktor inilah sepertinya yang mengharuskan Ditjen Perbendaharaan melaksanakan reformasi birokrasi yang tidak hanya fokus pada aspek peningkatan kualitas layanan, tetapi lebih ditekankan pada aspek perubahan kultur birokrasi, penyederhanaan business process, pemanfaatan teknologi informasi, penataan organisasi, dan yang paling utama adalah perubahan pola pikir sumber daya manusia yang mengawaki unit kantor pelayanan ini.

Namun ada hal yang perlu dicatat. Reformasi hendaknya bukanlah menjadi suatu euforia semu semata. Berbagai keberhasilan reformasi birokrasi melalui program KPPN Percontohan, hendaknya tidak membuai para birokrat di Ditjen Perbendaharaan sebagai satu kesatuan entitas birokrasi untuk terus berbenah, meningkatkan kinerja dan meningkatkan mutu dalam melayani para stakeholders maupun masyarakat secara luas. Layanan publik sebagai salah satu bentuk perwujudan dari fungsi pemerintah yang dirasakan langsung oleh masyarakat, menempati posisi yang strategis. Kualitas layanan publik yang dilaksanakan oleh kantor pemerintah sangat berpengaruh pada kualitas kehidupan dan sikap masyarakat. Publik akan terus menyoroti peran strategis Ditjen Perbendaharaan, terutama menyangkut kebijakan dan pelaksanaan APBN, dalam rangka menggerakkan laju perekonomian nasional. Oleh karena itu melalui perbaikan kinerja layanan publik yang terus menerus dan konsisten diharapkan akan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap pemerintah, yang pada gilirannya akan mendorong terciptanya iklim yang kondusif disegala bidang. (ed – dari berbagai sumber)

Thursday, February 12, 2009

(Sebagian) Catatan Kecil 2008

Karena urusan tugas, saya belakangan menjadi akrab dengan masalah-masalah pembiayaan, terutama untuk usaha mikro dan kecil (UMK). Berbagai jenis usaha UMK mulai dari sektor pertanian, industri kecil hingga perdagangan di hampir seluruh tanah air pernah saya sambangi. Banyak hal yang saya dapatkan dari para pengusaha UMK. Kegigihan, kerja keras dan kemandirian menjadikan mereka mampu bertahan dari berbagai hantaman krisis, seperti yang terjadi pada saat ini yang menimpa berbagai perusahaan besar/multinasional. Memang, banyak juga dari UMK tersebut bergantung pada perusahaan-perusahaan besar sebagai mitra binaan. Namun demikian, efek krisis menjadi relatif lebih sederhana untuk dapat di atasi.

Banyak hal yang telah membuktikan bahwa UMK merupakan faktor penting dalam stabilitas ekonomi. Begitu pula hasil studi dan literatur yang telah menabalkan peran UMK bagi suatu negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Untuk itu, seharusnya Pemerintah dapat memberikan ruang gerak terutama perluasan akses-akses pembiayaan, regulasi dan pengembangan kebutuhan bahan baku dan pemasaran bagi UMK.



Untuk kasus Indonesia, sejak awal Orde Baru sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya pengembangan peran UMK. Namun, kebijakan yang seringkali diembel-embeli Program Pembangunan itu menjadi kurang dirasakan manfaatnya bagi UMK. Aroma KKN begitu kentara. Contoh program pembiayaan UMK khususnya pada sektor pertanian seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dsb. Akibat kurangnya harmonisasi kebijakan pembiayaan dengan kebijakan pendukung lainnya, program pembiayaan itu saat ini meninggalkan beban kredit bagi petani/koperasi.

Belajar dari masa lalu, program pengembangan UMK hingga kini kembali digalakkan oleh pemerintah. Berbagai macam skema, sasaran dan prioritas ditetapkan untuk mendukung percepatan pemberdayaan UMK. Namun, secara pribadi, saya sedikit khawatir melihat maraknya program pengembangan UMK. Memang, saat ini Pemerintah harus pro-aktif meningkatkan akses bagi UMK untuk modal, pemasaran, teknologi dan sarana lainnya. Tidak salah, karena memang sudah seharusnya. Kekhawatiran saya lebih kepada masalah harmonisasi kebijakan pengembangan UMK terhadap kebijakan lain yang diterapkan Pemerintah (Pusat dan Daerah) yang, baik langsung/tidak langsung, berdampak pada sektor UMK.

Contoh, hampir setiap Departemen memiliki program pengembangan UMK dalam bentuk dana bergulir. Pada saat yang sama, terdapat pula berbagai macam skema pembiayaan yang diprogramkan Pemerintah maupun Bank Sentral (sebelum UU 23/99). Akibat "kurang" harmonisasi, dapat dikatakan program dana bergulir ini menimbulkan pretensi kurang akuntable dan transparan. Sasaran program pun sebatas bersifat departemental. Sudah barang tentu, dalam 2 tahun terakhir atas rekomendasi BPK, Menkeu akhirnya menertibkan pelaksanaan dana bergulir yang dikelola oleh hampir di semua Departemen. Mekanisme pelaksanaan pun diserahkan kepada suatu Badan Layanan Umum (BLU).

Saat ini, Pemerintah kembali menempatkan pemberdayaan UMK sebagai program prioritas pembangunan jangka menengah. Keberhasilan Muhammad Yunus di Bangladesh meningkatkan kesejahteraan bagi pelaku UMK, ternyata membuat kita mau tidak mau harus dapat melakukan hal yang sama. Pelajaran krisis ekonomi 1998 pun telah membuka mata kita tentang potensi UMK.

Melihat potensi itu, Presiden SBY pun menegaskan secara khusus peran Pemerintah bagi pemberdayaan program UMK pada Inpres 6/2007 tentang Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dan Inpres 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009. Berbagai program pembiayaan bagi UMK pun ditingkatkan, mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), Revitalisasi Perkebunan dan Energi Nabati (KPEN-RP), PNPM Mandiri dan melanjutkan program Kredit Ketahanan Pangan (KKP-E) dan Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK).

Seperti yang saya bilang di atas, saya khawatir dengan program-program pemberdayaan ini. Banyak skema pembiayaan yang dibangun, namun terkadang road map nya hampir tidak jelas. Contoh, program untuk sektor pertanian, seperti KKP-E dan KPEN-RP. Pola insentif subsidi bunga diberikan oleh Pemerintah atas kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMK (petani/peternak/pekebun/nelayan). Skema kredit mulai dari kriteria UMK, persyaratan dan komoditas/kegiatan usaha ditetapkan oleh Dept. Teknis (Deptan dan DKP), dan penilaian kelayakan pembiayaan diserahkan sepenuhnya kepada Perbankan. Namun, di sisi lain, persoalan koordinasi sangat mengganjal percepatan program ini. Pada Revitalisasi Perkebunan misalnya, masalah sertifikasi menjadi hambatan utama para pekebun untuk mengakses pembiayaan perbankan. Permasalahan lahan, perijinan dari Pemerintah Daerah seringkali tidak sejalan dengan apa yang ingin dicapai pada program ini.

Contoh lain, subsidi pupuk masih tetap dialokasikan pada APBN. Secara pribadi saya kurang sependapat. Subsidi pupuk salah satu penyebab utama kelangkaan pupuk yang kerap saya temui ketika berbincang-bincang dengan para pelaku UMK. Pupuk bersubsidi (dari pemantauan saya) kerap diselewengkan. Tak heran, ketika sangat dibutuhkan oleh pelaku UMK (petani), kehadirannya sangat sulit ditemukan.

Perlu ada skim kredit terpadu. Pola sinergi antara Pemerintah dengan perbankan yang saat ini dilakukan saat ini sudah cukup memadai. Cuma, skim perlu diperluas, dan terkait dengan program pemerintah lainnya. Seperti contoh pupuk bersubsidi dan program KKP-E.

Pupuk sebaiknya dilepas dengan harga pasar untuk menghindari penyelewengan. Biaya pembelian pupuk dimasukkan dalam komponen pembiayaan kepada petani. Anggaran subsidi pupuk dialihkan untuk meningkatkan insentif subsidi bunga dan insentif produksi (yaitu diberikan dalam bentuk tunai kepada petani apabila target komoditas pangan secara nasional terpenuhi). Untuk menghindari meningkatnya harga beras akibat kenaikan ongkos produksi petani, Pemerintah perlu menetapkan harga standar pembelian gabah/pengendalian harga kepada Bulog. Subsidi pupuk TA 2009 sebesar Rp31 triliun lebih dari cukup untuk alokasi subsidi bunga dan insentif bagi petani serta kompensasi Bulog.

Memang, ini hanya gambaran kasar saya. Intinya adalah, harmonisasi kebijakan itu penting. Tidak berpikir departemental atau hanya berpikir target kinerja masing2 program instansi. Suksesnya suatu pelayanan publik tidak diukur dari berapa banyak anggaran yang direalisasikan, tetapi berapa besar manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.