Friday, February 13, 2009

(Sebagian lagi) Catatan Kecil 2008

Berikut tulisan saya untuk sebuah majalah intern kantor (yang gk jelas kapan majalahnya terbit :(). Mudah2an bisa bermanfaat. Trims dan selamat membaca ya.

KPPN Percontohan, Langkah Awal Menuju Pelayanan Prima

Sejak reformasi birokrasi dilaksanakan oleh Departemen Keuangan pada tahun 2007, fokus utamanya diarahkan pada empat sasaran, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan business process, peningkatan manajemen SDM dan perbaikan struktur remunerasi.

Menindaklanjuti upaya tersebut dan dalam rangka mewujudkan good governance serta meningkatkan layanan kepada masyarakat, sejak 30 Juli 2007 Ditjen Perbendaharaan telah memulai operasionalisasi 18 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan di 17 ibukota provinsi, yang diikuti 9 KPPN Percontohan tahap kedua pada 1 Pebruari 2008. Sehingga dengan demikian sampai saat ini terdapat 27 kantor pelayanan percontohan di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang dimaksudkan agar peningkatan kualitas pelayanan KPPN semakin luas dirasakan oleh masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa layanan publik yang diselenggarakan oleh kantor pemerintah selama ini pada umumnya menggambarkan sifat dan sikap birokrasi yang negatif. Ia identik dengan kondisi pelayanan yang serba lamban, yang berbelit-belit, yang tidak memiliki kepastian, yang tidak transparan, dan bahkan pada tingkat tertentu diwarnai dengan pungutan tidak resmi. Kondisi ini tentunya harus diubah menjadi layanan yang cepat, akurat, sederhana dan transparan serta bebas pungutan. Sudah saatnya kantor pelayanan harus memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat dan menghilangkan kondisi stigmatik negatif yang selama ini melekat pada birokrasi.

Sesuai dengan agenda reformasi birokrasi, KPPN Percontohan telah berhasil menyederhanakan proses kerja penyelesaian Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Non Belanja Pegawai atas Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh satuan kerja. Penerbitan SP2D yang selama ini diselesaikan dalam waktu 1 (satu) hari, dapat diselesaikan maksimal dalam waktu 1 (satu) jam sejak SPM diterima secara lengkap dan memenuhi syarat. Satuan kerja cukup berurusan pada satu tempat pelayanan (front office) dan langsung memperoleh kepastian atas penyelesaian SPM yang diajukan, dan apabila tidak lengkap atau tidak memenuhi syarat langsung diberitahukan/dikembalikan kepada pihak satker selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk dilakukan perbaikan. Percepatan yang cukup signifikan tersebut dilakukan melalui penyederhanaan proses penyelesaian pekerjaan, penggunaan teknologi informasi, serta dukungan SDM yang diseleksi secara ketat.

Sebagai ujung tombak pelaksanaan pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, pembentukan KPPN Percontohan semakin memperluas cakupan layanan prima kepada mitra kerja. Sesuai hasil survei Universitas Indonesia tentang kepuasan masyarakat terhadap kinerja jajaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang diselenggarakan baru-baru ini, menunjukkan bahwa kinerja jajaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan, terutama melalui KPPN Percontohan meningkat secara signifikan. Keberhasilan lainnya yang diraih adalah keberhasilan KPPN Percontohan Makassar II meraih Juara Nasional Pelayanan Masyarakat antar kantor pelayanan pemerintah pada tahun 2008 ini. Perluasan pembentukan KPPN Percontohan dan berbagai keberhasilan tersebut diharapkan menjadi bagian dari kontribusi nyata Direktorat Jenderal Perbendaharaan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi di Pemerintahan, khususnya pada Departemen Keuangan.

Menilik ke awal pembentukan KPPN Percontohan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ini merupakan komitmen Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Komitmen bukanlah suatu hal yang main-main. Pencideraan terhadap komitmen berakibat lunturnya kepercayaan masyarakat. Faktor inilah sepertinya yang mengharuskan Ditjen Perbendaharaan melaksanakan reformasi birokrasi yang tidak hanya fokus pada aspek peningkatan kualitas layanan, tetapi lebih ditekankan pada aspek perubahan kultur birokrasi, penyederhanaan business process, pemanfaatan teknologi informasi, penataan organisasi, dan yang paling utama adalah perubahan pola pikir sumber daya manusia yang mengawaki unit kantor pelayanan ini.

Namun ada hal yang perlu dicatat. Reformasi hendaknya bukanlah menjadi suatu euforia semu semata. Berbagai keberhasilan reformasi birokrasi melalui program KPPN Percontohan, hendaknya tidak membuai para birokrat di Ditjen Perbendaharaan sebagai satu kesatuan entitas birokrasi untuk terus berbenah, meningkatkan kinerja dan meningkatkan mutu dalam melayani para stakeholders maupun masyarakat secara luas. Layanan publik sebagai salah satu bentuk perwujudan dari fungsi pemerintah yang dirasakan langsung oleh masyarakat, menempati posisi yang strategis. Kualitas layanan publik yang dilaksanakan oleh kantor pemerintah sangat berpengaruh pada kualitas kehidupan dan sikap masyarakat. Publik akan terus menyoroti peran strategis Ditjen Perbendaharaan, terutama menyangkut kebijakan dan pelaksanaan APBN, dalam rangka menggerakkan laju perekonomian nasional. Oleh karena itu melalui perbaikan kinerja layanan publik yang terus menerus dan konsisten diharapkan akan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap pemerintah, yang pada gilirannya akan mendorong terciptanya iklim yang kondusif disegala bidang. (ed – dari berbagai sumber)

Thursday, February 12, 2009

(Sebagian) Catatan Kecil 2008

Karena urusan tugas, saya belakangan menjadi akrab dengan masalah-masalah pembiayaan, terutama untuk usaha mikro dan kecil (UMK). Berbagai jenis usaha UMK mulai dari sektor pertanian, industri kecil hingga perdagangan di hampir seluruh tanah air pernah saya sambangi. Banyak hal yang saya dapatkan dari para pengusaha UMK. Kegigihan, kerja keras dan kemandirian menjadikan mereka mampu bertahan dari berbagai hantaman krisis, seperti yang terjadi pada saat ini yang menimpa berbagai perusahaan besar/multinasional. Memang, banyak juga dari UMK tersebut bergantung pada perusahaan-perusahaan besar sebagai mitra binaan. Namun demikian, efek krisis menjadi relatif lebih sederhana untuk dapat di atasi.

Banyak hal yang telah membuktikan bahwa UMK merupakan faktor penting dalam stabilitas ekonomi. Begitu pula hasil studi dan literatur yang telah menabalkan peran UMK bagi suatu negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Untuk itu, seharusnya Pemerintah dapat memberikan ruang gerak terutama perluasan akses-akses pembiayaan, regulasi dan pengembangan kebutuhan bahan baku dan pemasaran bagi UMK.



Untuk kasus Indonesia, sejak awal Orde Baru sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya pengembangan peran UMK. Namun, kebijakan yang seringkali diembel-embeli Program Pembangunan itu menjadi kurang dirasakan manfaatnya bagi UMK. Aroma KKN begitu kentara. Contoh program pembiayaan UMK khususnya pada sektor pertanian seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dsb. Akibat kurangnya harmonisasi kebijakan pembiayaan dengan kebijakan pendukung lainnya, program pembiayaan itu saat ini meninggalkan beban kredit bagi petani/koperasi.

Belajar dari masa lalu, program pengembangan UMK hingga kini kembali digalakkan oleh pemerintah. Berbagai macam skema, sasaran dan prioritas ditetapkan untuk mendukung percepatan pemberdayaan UMK. Namun, secara pribadi, saya sedikit khawatir melihat maraknya program pengembangan UMK. Memang, saat ini Pemerintah harus pro-aktif meningkatkan akses bagi UMK untuk modal, pemasaran, teknologi dan sarana lainnya. Tidak salah, karena memang sudah seharusnya. Kekhawatiran saya lebih kepada masalah harmonisasi kebijakan pengembangan UMK terhadap kebijakan lain yang diterapkan Pemerintah (Pusat dan Daerah) yang, baik langsung/tidak langsung, berdampak pada sektor UMK.

Contoh, hampir setiap Departemen memiliki program pengembangan UMK dalam bentuk dana bergulir. Pada saat yang sama, terdapat pula berbagai macam skema pembiayaan yang diprogramkan Pemerintah maupun Bank Sentral (sebelum UU 23/99). Akibat "kurang" harmonisasi, dapat dikatakan program dana bergulir ini menimbulkan pretensi kurang akuntable dan transparan. Sasaran program pun sebatas bersifat departemental. Sudah barang tentu, dalam 2 tahun terakhir atas rekomendasi BPK, Menkeu akhirnya menertibkan pelaksanaan dana bergulir yang dikelola oleh hampir di semua Departemen. Mekanisme pelaksanaan pun diserahkan kepada suatu Badan Layanan Umum (BLU).

Saat ini, Pemerintah kembali menempatkan pemberdayaan UMK sebagai program prioritas pembangunan jangka menengah. Keberhasilan Muhammad Yunus di Bangladesh meningkatkan kesejahteraan bagi pelaku UMK, ternyata membuat kita mau tidak mau harus dapat melakukan hal yang sama. Pelajaran krisis ekonomi 1998 pun telah membuka mata kita tentang potensi UMK.

Melihat potensi itu, Presiden SBY pun menegaskan secara khusus peran Pemerintah bagi pemberdayaan program UMK pada Inpres 6/2007 tentang Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dan Inpres 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009. Berbagai program pembiayaan bagi UMK pun ditingkatkan, mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), Revitalisasi Perkebunan dan Energi Nabati (KPEN-RP), PNPM Mandiri dan melanjutkan program Kredit Ketahanan Pangan (KKP-E) dan Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK).

Seperti yang saya bilang di atas, saya khawatir dengan program-program pemberdayaan ini. Banyak skema pembiayaan yang dibangun, namun terkadang road map nya hampir tidak jelas. Contoh, program untuk sektor pertanian, seperti KKP-E dan KPEN-RP. Pola insentif subsidi bunga diberikan oleh Pemerintah atas kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMK (petani/peternak/pekebun/nelayan). Skema kredit mulai dari kriteria UMK, persyaratan dan komoditas/kegiatan usaha ditetapkan oleh Dept. Teknis (Deptan dan DKP), dan penilaian kelayakan pembiayaan diserahkan sepenuhnya kepada Perbankan. Namun, di sisi lain, persoalan koordinasi sangat mengganjal percepatan program ini. Pada Revitalisasi Perkebunan misalnya, masalah sertifikasi menjadi hambatan utama para pekebun untuk mengakses pembiayaan perbankan. Permasalahan lahan, perijinan dari Pemerintah Daerah seringkali tidak sejalan dengan apa yang ingin dicapai pada program ini.

Contoh lain, subsidi pupuk masih tetap dialokasikan pada APBN. Secara pribadi saya kurang sependapat. Subsidi pupuk salah satu penyebab utama kelangkaan pupuk yang kerap saya temui ketika berbincang-bincang dengan para pelaku UMK. Pupuk bersubsidi (dari pemantauan saya) kerap diselewengkan. Tak heran, ketika sangat dibutuhkan oleh pelaku UMK (petani), kehadirannya sangat sulit ditemukan.

Perlu ada skim kredit terpadu. Pola sinergi antara Pemerintah dengan perbankan yang saat ini dilakukan saat ini sudah cukup memadai. Cuma, skim perlu diperluas, dan terkait dengan program pemerintah lainnya. Seperti contoh pupuk bersubsidi dan program KKP-E.

Pupuk sebaiknya dilepas dengan harga pasar untuk menghindari penyelewengan. Biaya pembelian pupuk dimasukkan dalam komponen pembiayaan kepada petani. Anggaran subsidi pupuk dialihkan untuk meningkatkan insentif subsidi bunga dan insentif produksi (yaitu diberikan dalam bentuk tunai kepada petani apabila target komoditas pangan secara nasional terpenuhi). Untuk menghindari meningkatnya harga beras akibat kenaikan ongkos produksi petani, Pemerintah perlu menetapkan harga standar pembelian gabah/pengendalian harga kepada Bulog. Subsidi pupuk TA 2009 sebesar Rp31 triliun lebih dari cukup untuk alokasi subsidi bunga dan insentif bagi petani serta kompensasi Bulog.

Memang, ini hanya gambaran kasar saya. Intinya adalah, harmonisasi kebijakan itu penting. Tidak berpikir departemental atau hanya berpikir target kinerja masing2 program instansi. Suksesnya suatu pelayanan publik tidak diukur dari berapa banyak anggaran yang direalisasikan, tetapi berapa besar manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.