Friday, June 1, 2007

Ketika Birokrasi Tak Percaya Diri

Sudah lama sebenarnya saya ingin berkomentar soal marak dibentuknya berbagai macam komisi, badan atau tim yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah yang mungkin dikategorikan 'istimewa' dan 'luar biasa' dalam iklim birokrasi di Indonesia. Dan baru sekarang saya bisa menuliskan uneg-uneg ini.

Belakangan ini, seringkali saya mendengar adanya tim atau komisi yang dibentuk pemerintah untuk menuntaskan suatu masalah. Seperti dibentuknya komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Timnas Lapindo, dan baru-baru ini Presiden (lagi-lagi) membentuk timnas yang bertugas menyelesaikan masalah di lingkungan IPDN. Mungkin, di satu pihak, kehadiran komisi atau tim ini dalam keadaan tertentu, bisa jadi sangat dibutuhkan karena memang struktur dan fungsinya memang sangat kompleks dan memiliki kewenangan yang lebih besar dari departemen yang ada. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, yang merupakan institusi birokrasi yang memiliki kewenangan luar biasa besarnya dalam upaya memerangi praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Atau misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).

Di sini saya mempersoalkan masalah seberapa besar urgensi atas dibentuknya tim atau komisi yang sifatnya temporer, reaktif-responsif dan tidak berkelanjutan (unsustainable) fungsinya di masa depan. Dalam beberapa kasus, tentu kehadiran komisi-komisian ini diperlukan, namun tidak berarti latah. Contoh, KPK, KPU dan KY serta Komnas HAM. Komisi ini memiliki tugas dan fungsi yang sangat spesifik, khusus dan dibutuhkna koordinasi yang lebih luas dari sekedar birokrasi konvensional. Selain itu, tidak tersedianya tatanan dan struktur birokrasi yang ada membuat kehadiran mereka sangat relevan.

Tapi coba lihat pembentukan komisi atau timnas lainnya. Timnas Bulog, KNKT, Timnas Lapindo dll. Kehadiran komisi atau timnas ini, menurut saya, disebabkan karena kelatahan para pengambil keputusan tertinggi di birokrasi. Sedikit saja ada persoalan mengemuka, sikap reaktif berupa pembentukan tim atau komisi diambil. Padahal kebijakan ini cuma jadi jalan utama keluar dari persoalan yang kecil, tidak menyelesaikan persoalan yang lebih besar. Dan ini memakan biaya yang cukup besar. Sikap ini menunjukkan bahwa birokrasi tidak mampu mengurai persoalan yang terjadi akibat kesalahan internal mereka sendiri.

Contoh, pembetukan KNKT. Saya cenderung menilai ini sebagai suatu "kebijakan latah" untuk mengurangi tekanan publik terhadap permasalahan keselamatan transportasi. Sebagai suatu kebijakan yang semata-mata menunjukkan sikap responsif pemerintah dan kepedulian untuk meningkatkan kinerja dan layanan transportasi.

Padahal, kita semua tahu di Departemen Perhubungan itu ada Direktorat Laut, Udara, Darat dan lain sebagainya. Seandainya, para pejabat dan pengambil keputusan di masing-masing direktorat itu aware dengan tugas pokok dan fungsinya, mungkin 10 atau 20 tahun yang lalu undang-undang keselamatan transportasi sudah mumpuni. Pelaksanaan transportasi kita jauh lebih nyaman dan aman. Pengawasan bisa lebih jauh lebih baik. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pun bukan sekedar reaktif-responsif, tapi antisipatif dan sustainable. Jadi, sudah ada suatu standar operasi kerja yang menjadi patokan dalam meningkatkan pelayanan transportasi. Dan kita tidak perlu terkaget-kaget ketika hasil tes dan uji kelaikan terbang maskapai penerbangan komersial menunjukkan bahwa tidak ada satu pun maskapai penerbangan domestik yang memenuhi standar keselamatan terbang internasional.

Itu hanya satu contoh betapa lemahnya kinerja birokrasi. Lemahnya kontrol dan pengawasan yang dilakukan. Keseriusan baru tersadar ketika bencana menimpa. Seolah-olah kebijakan pembentukan komisi, tim, atau apa namanya ini menjadi solusi ampuh. Padahal kinerja tim ini sangat parsial, sifatnya musiman. Rekomendasi kebijakan dan temuan yang dihasilkan pun akhirnya tidak dapat memberikan perubahan yang signifikan terhadap perbaikan kinerja.

Balik lagi ke soal transportasi. Coba, sudah berapa banyak kecelakaan kereta api, lalu lintas darat dan laut. Kita tidak pernah melihat adanya perbaikan pelayanan dan apatah lagi keselamatan dalam angkutan yang paling banyak digunakan publik tersebut. Betapa sering kita lihat asap polusi Metro Mini, Kopaja merusak dan mencemari paru-paru kita. Penumpang kereta tanpa rasa takut duduk di atas gerbong kereta. Itu semua pemandangan yang lumrah, biasa. Selama tidak jatuh korban, tidak perlu dilakukan perbaikan sistemnya. Singkat kata, kalo ngomong angkutan umum, gak usah ngomong soal kenyamanan. Aman aja sudah bagus kali!

Berita kecelakaan, bencana atau pun persoalan lain di media massa, tidaklah berarti apa-apa bagi para pengambil keputusan di jajaran birokrasi untuk meningkatkan kinerja mereka. Kita tahu bagaimana para birokrat di negara-negara maju (baca: maju, eh barat) sangat alergi mendengar adanya public complaint terutama menyangkut sarana-sarana pelayanan publik. Sehingga, pelayanan publik pun bisa maksimal.

Sudah banyak studi banding, pertukaran informasi dan pengiriman staf dari jajaran birokrasi dilakukan dengan negara-negara maju. Tapi, perubahan apa yang dapat diterapkan di negara ini (baca: Indonesia) sehingga birokrasi-nya mampu lebih peka terhadap permasalahan pelayanan publik?

Egoisme

"Entahlah. Tak pernah aku mengharapkan kematian siapapun. Kebentjiannja kepadaku hanjalah terdorong oleh egoisme jang lahir dari pandangan jang sempit."

"Kau aneh. Mana ada egoisme bisa lahir dari pandangan luas! Djiwa jang lapang tidak mengenal egoisme, jang ada hanjalah toleransi dan pengertian jang mendalam akan hakekat manusia dan kehidupan ini."

"Banjak sedikitnja manusia memang egoistis. Betapapun lapangnja pandangan seseorang, padanja ada ketjenderungan pada hipokrisi dan karenanja benih-benih egoisme memang sudah ada pada dirinja."

"Misalnja?"

"Orang-orang jang berdjuang untuk persamaan hak antara manusia. Orang-orang ini ingin menghapuskan perbedaan-perbedaan dalam masjarakat. Tapi satu hal mereka djadikan doktrin, bahwa hanjalah pihaknja, golonganja, ideologinja jang dianggapnja terpilih dan paling benar. Di pihak lain ada orang-orang jang memperdjoangkan persamaan hak dengan meminta pengakuan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan dasar manusia. Dalam pengertian hak asasi dan kebebasan dasar mengandung pula pengertian kebebasan bersaing, kebebasan mengadu keuletan, kekuatan, kelitjikan. Pemenang dari pergulatan itulah nanti jang akan mendapatkan kekuasaan untuk melaksanakan perlindungan terhadap hak asasi dan kebebasan dasar dengan pengertian, bahwa hak dan kebebasannja sendiri jang harus didahulukan mendapat perlindungan. Orang lain masabodo."

"(Lalu), apa beda jang lahir dari pandangan sempit dan dari pandangan luas?"

"Egoisme jang lahir dari pandangan sempit setidak-tidaknja adalah egoisme yang terus-terang ditondjolkan ke muka. Egoisme dari pandangan luas sudah berselimutkan matjam-matjam dalih dan melahirkan hipokrit-hipokrit jang berbahaja."

disadur dari: "Orang Buangan" oleh Harijadi S. Hartowadojo, hal. 167-68, Pustaka Jaya, 1971