Sunday, May 9, 2010

Maju Mundur Program KUR

Tulisan berikut ini dimuat pada Kontan Edisi Sabtu, 20 Maret 2010
(Erdian Dharmaputra)

Sejak digulirkan pada akhir 2008 lalu, realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh enam bank pelaksana (BNI, Mandiri, BRI, BTN, Bukopin dan Bank Syariah Mandiri) mencapai hingga Rp. 17,5 triliun rupiah. Dari angka realisasi tersebut, KUR dinikmati oleh lebih dari 2400 usaha mikro dan kecil (UMK) dengan pinjaman rata-rata sebesar Rp. 7,18 juta dengan outstanding per 31 Januari 2010 sebesar Rp. 7,93 triliun.

Bila dibandingkan dengan kredit program Pemerintah lainnya seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), KUR menunjukkan kinerja penyaluran yang cukup kinclong. KKP-E yang digulirkan sejak tahun 2007, realisasi kredit baru mencapai Rp. 8,6 triliun, sedangkan KPEN-RP yang telah dilaksanakan sejak tahun 2006 hanya sebesar Rp836 miliar dari komitmen 16 perbankan sebesar Rp. 36 triliun.

Tingginya penyaluran KUR tidak terlepas dari skema penjaminan kredit yang diberikan Pemerintah bagi para debitur. Dengan skema penjaminan ini beban perbankan terhadap risiko gagal bayar debitur KUR hanya sebesar 30%, sedangkan sisanya sebesar 70% ditanggung oleh Pemerintah melalui dua lembaga penjaminan kredit (Askrindo dan Jamkrindo). Laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat hingga Januari 2010, non-performing loan (NPL) KUR mencapai 5,85% atau sebesar Rp. 464 miliar. Ini berarti, Pemerintah melalui Askrindo dan Jamkrindo akan menanggung beban kurang lebih sebesar Rp. 250 miliar.

Namun demikian, Pemerintah tetap optimis dengan kinerja KUR, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan penyaluran KUR dapat mencapai Rp. 100 triliun dalam waktu lima tahun ke depan dalam kerangka program 100 hari pemerintahannya. Untuk itu, 13 bank pembangunan daerah (BPD) menyatakan ikut berpartisipasi dalam KUR mulai tahun 2010 ini. Di tengah optimisme Pemerintah, muncul kekhawatiran bahwa KUR tidak akan dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah.

Pertama, kemampuan keuangan lembaga penjamin. Askrindo dan Jamkrindo merupakan BUMN yang ditunjuk Pemerintah untuk melakukan penjaminan KUR. Kedua lembaga ini diwajibkan untuk mempertahankan kemampuan penjaminan dan kecukupan modal dengan gearing ratio sebesar 10:1. Artinya, dengan target KUR sebesar Rp. 100 triliun selama lima tahun, maka Askrindo dan Jamkrindo membutuhkan modal pejaminan sebesar Rp. 10 triliun. Dengan kata lain, diperlukan adanya tambahan modal dari Pemerintah sehingga keduanya mampu menjamin KUR, selain pembayaran imbal jasa penjaminan (IJP) yang dibayarkan Pemerintah kepada Askrindo dan Jamkrindo dengan tarif sebesar 3,25%.

Memang, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar dua triliun rupiah per tahun untuk penambahan modal tersebut, namun persoalan belum selesai. Akibat KUR, biaya operasional kedua lembaga penjamin ini akan meningkat, sehingga dibutuhkan biaya investasi dan pengembangan jaringan untuk tetap mempertahankan persyaratan gearing ratio sebagaimana ditetapkan dalam undang undang tentang lembaga penjaminan. Persoalan lain adalah masih adanya kewajiban lembaga penjamin, khususnya Jamkrindo, terhadap kredit program di masa lalu seperti Kredit Usaha Tani (KUT) yang hingga saat ini proses penyelesaiannya masih diaudit oleh BPK. Dalam KUT, Jamkrindo (dulu Perum PKK) merupakan lembaga penjamin kredit yang ditunjuk Pemerintah atas penyaluran kredit KUT yang saat ini macet hingga mencapai sebesar Rp. 5,7 triliun.

Persoalan kedua dan cukup penting adalah mengenai campur tangan Pemerintah dalam kebijakan pelaksanaan KUR. Boleh jadi Pemerintah mengklaim bahwa KUR merupakan program dan kebijakan pemerintah dalam upaya pemberdayaan UMK. Namun, hal ini tidak serta merta Pemerintah dapat bertindak “egois”. Perlu diingat, penyaluran KUR bersumber dari dana perbankan, sehingga sedikit banyak memengaruhi rencana bisnis pembiayaan mereka. Belum lagi, hampir semua perbankan pelaksana KUR terlibat dalam berbagai kredit program pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di lain pihak, mereka dituntut untuk memenuhi target penyaluran KUR, dimana hal yang sama juga dilakukan pada KKP-E dan KPEN-RP.

Sebagai satu contoh, Pemerintah meminta perbankan untuk menyalurkan KUR sektor pertanian sebesar 25%, sementara di saat yang sama penyaluran KKP-E harus ditingkatkan. Akibatnya, KUR dan KKP-E akan saling berhadapan dan menyebabkan salah satu target tidak dapat terpenuhi (bayangkan tingkat bunga KUR 14% dibanding dengan KKP-E yang hanya 6% karena subsidi bunga Pemerintah). Kondisi ini mengesankan tidak ada koordinasi pada internal Pemerintah dalam menyusun kebijakan kredit program bagi UMK. Sehingga, menyebabkan kegamangan dan keraguan bagi perbankan untuk turut serta secara aktif apabila dibebani dengan target. Apalagi, terdapat kesenjangan antara tingkat bunga kredit program yang cenderung lebih rendah dibanding tingkat bunga kredit komersial untuk kredit mikro (s.d. Rp. 5 juta). Dengan kata lain, bank lebih cenderung menyalurkan kredit komersial karena pendapatan bunga yang lebih menarik dibanding kredit program.

Ketiga, kegagalan KUT dan kredit program di masa lalu hendaknya dapat dijadikan pengalaman berharga bagi pemerintah dalam rangka kebijakan pengembangan UMK melalui KUR. Dampak kegagalan KUT telah menyebabkan banyak UMK tidak mampu mengakses pembiayaan baru karena masih memiliki tunggakan kredit. Selain itu, peran pemerintah yang cukup besar dalam persoalan teknis dan berorientasi pada target penyaluran juga memberikan kontribusi cukup signifikan dalam tunggakan KUT sebesar Rp. 5,7 triliun. Seharusnya, peran pemerintah lebih difokuskan pada kelompok sasaran dan upaya optimalisasi terhadap kapasitas serta potensi UMK. Persoalan teknis penyaluran dan penilaian kelayakan kredit tetap pada perbankan yang memang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu.

Keempat, KUR sudah menjadi iconic program ekonomi kerakyatan dan menjadi salah satu elemen penting dalam pencitraan Pemerintahan SBY. Begitu pentingnya KUR, tujuh Kementerian terlibat secara langsung untuk mengawal suksesnya program KUR dengan menandatangani Nota Kesepahaman Bersama dengan enam bank dan dua lembaga penjaminan. Dikutip dari Kompas.com, Meneg. Koperasi menyatakan bahwa KUR merupakan salah satu solusi bagi UMK terhadap China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Menteri juga mengungkapkan bahwa KUR menjadi instrumen penting untuk mengurangi angka kemiskinan hingga turun menjadi 8-10% pada tahun 2014, terutama bagi UMK yang memiliki akses pembiayaan hingga Rp. 5 juta. Konsekuensi dari kebijakan pemerintah ini, perbankan diminta untuk meningkatkan penyaluran KUR hingga Rp. 20 triliun per tahun untuk memenuhi target pemerintah.

Namun di sisi lain, perbankan mengungkapkan hendaknya mereka tidak dibebani oleh target penyaluran pemerintah. Kebijakan Pemerintah untuk merelaksasi penyaluran KUR, yaitu dengan mempermudah persyaratan bagi calon UMK memeroleh KUR, tidak serta merta memberikan kemudahan bagi perbankan. Perbankan masih khawatir pada masih tingginya NPL dan kelompok sasaran KUR yang relatif baru memulai usahanya. Walaupun pemerintah menanggung risiko sebesar 70%, bank tetap memiliki risiko tinggi terutama bagi UMK dengan pinjaman KUR sampai dengan Rp. 5 juta (mikro), karena tidak diwajibkan agunan. Bila melihat kinerja KUR selama ini, penyaluran KUR BRI mikro mencapai Rp. 9,68 triliun (55%) dan NPL mencapai 6,35%, dengan adanya persyaratan agunan tambahan. Namun, dengan tidak diwajibkan agunan tambahan bagi KUR mikro mulai tahun 2010, dikhawatirkan akan memengaruhi penyaluran walaupun diimingi dengan tingkat bunga sebesar 22%. Dengan kata lain, agunan tambahan yang digunakan bank untuk menutupi bagian risiko 30% kini tidak dapat lagi digunakan, sehingga bank cenderung untuk mengalihkan fokus penyaluran KUR pada UMK dengan plafon pinjaman s.d. Rp. 500 juta yang masih diwajibkan menyertakan agunan tambahan.

Kelima, pemerintah memperluas cakupan penyaluran dengan menerapkan pola channeling, dimana bank pelaksana KUR dapat melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan non-bank seperti BPR. Di satu sisi, kebijakan ini memberikan kesempatan yang lebih luas bagi UMK yang berada di daerah-daerah terpencil dan tidak terjangkau oleh bank pelaksana KUR selama ini. Namun di sisi lain, pemerintah hendaknya memerhatikan biaya dana (cost of fund) dari lembaga channeling dalam penyaluran KUR. BPR cenderung memiliki biaya dana relatif lebih tinggi dari bank yang dihitung dari kewajiban dan biaya lainnya seperti operasional. Dengan “hanya” tingkat bunga 22% efektif per tahun, apakah mampu menutup biaya-biaya yang dikeluarkan oleh BPR guna menyalurkan KUR? Umumnya, BPR masih menerapkan tingkat bunga relatif cukup tinggi dibanding dengan tingkat bunga perbankan, sekitar 26% s.d. 35% ditambah agunan tambahan.

Terakhir, KUR hendaknya tidak selalu menjadi slogan atau komoditas politik bagi golongan tertentu sehingga nanti setelah 2014 kredit program ini tetap berjalan. Tidak perlu mengidentikkan secara politis bahwa KUR adalah SBY, SBY adalah KUR. Yang perlu adalah, kredit program, apapun namanya, hendaknya tetap menjadi salah satu bagian penting dalam pemberdayaan pelaku UMK. Stereotype bahwa kredit program merupakan komoditas politik dan merupakan program “bagi-bagi” duit hendaknya tidak lagi menjadi perdebatan. Pengalaman KUT dan kegagalan masa lalu sudah terlalu besar untuk diulangi lagi di masa-masa mendatang. Semoga.

*penulis tinggal di Jakarta, pemerhati masalah UMK

No comments: