Thursday, February 12, 2009

(Sebagian) Catatan Kecil 2008

Karena urusan tugas, saya belakangan menjadi akrab dengan masalah-masalah pembiayaan, terutama untuk usaha mikro dan kecil (UMK). Berbagai jenis usaha UMK mulai dari sektor pertanian, industri kecil hingga perdagangan di hampir seluruh tanah air pernah saya sambangi. Banyak hal yang saya dapatkan dari para pengusaha UMK. Kegigihan, kerja keras dan kemandirian menjadikan mereka mampu bertahan dari berbagai hantaman krisis, seperti yang terjadi pada saat ini yang menimpa berbagai perusahaan besar/multinasional. Memang, banyak juga dari UMK tersebut bergantung pada perusahaan-perusahaan besar sebagai mitra binaan. Namun demikian, efek krisis menjadi relatif lebih sederhana untuk dapat di atasi.

Banyak hal yang telah membuktikan bahwa UMK merupakan faktor penting dalam stabilitas ekonomi. Begitu pula hasil studi dan literatur yang telah menabalkan peran UMK bagi suatu negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Untuk itu, seharusnya Pemerintah dapat memberikan ruang gerak terutama perluasan akses-akses pembiayaan, regulasi dan pengembangan kebutuhan bahan baku dan pemasaran bagi UMK.



Untuk kasus Indonesia, sejak awal Orde Baru sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya pengembangan peran UMK. Namun, kebijakan yang seringkali diembel-embeli Program Pembangunan itu menjadi kurang dirasakan manfaatnya bagi UMK. Aroma KKN begitu kentara. Contoh program pembiayaan UMK khususnya pada sektor pertanian seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dsb. Akibat kurangnya harmonisasi kebijakan pembiayaan dengan kebijakan pendukung lainnya, program pembiayaan itu saat ini meninggalkan beban kredit bagi petani/koperasi.

Belajar dari masa lalu, program pengembangan UMK hingga kini kembali digalakkan oleh pemerintah. Berbagai macam skema, sasaran dan prioritas ditetapkan untuk mendukung percepatan pemberdayaan UMK. Namun, secara pribadi, saya sedikit khawatir melihat maraknya program pengembangan UMK. Memang, saat ini Pemerintah harus pro-aktif meningkatkan akses bagi UMK untuk modal, pemasaran, teknologi dan sarana lainnya. Tidak salah, karena memang sudah seharusnya. Kekhawatiran saya lebih kepada masalah harmonisasi kebijakan pengembangan UMK terhadap kebijakan lain yang diterapkan Pemerintah (Pusat dan Daerah) yang, baik langsung/tidak langsung, berdampak pada sektor UMK.

Contoh, hampir setiap Departemen memiliki program pengembangan UMK dalam bentuk dana bergulir. Pada saat yang sama, terdapat pula berbagai macam skema pembiayaan yang diprogramkan Pemerintah maupun Bank Sentral (sebelum UU 23/99). Akibat "kurang" harmonisasi, dapat dikatakan program dana bergulir ini menimbulkan pretensi kurang akuntable dan transparan. Sasaran program pun sebatas bersifat departemental. Sudah barang tentu, dalam 2 tahun terakhir atas rekomendasi BPK, Menkeu akhirnya menertibkan pelaksanaan dana bergulir yang dikelola oleh hampir di semua Departemen. Mekanisme pelaksanaan pun diserahkan kepada suatu Badan Layanan Umum (BLU).

Saat ini, Pemerintah kembali menempatkan pemberdayaan UMK sebagai program prioritas pembangunan jangka menengah. Keberhasilan Muhammad Yunus di Bangladesh meningkatkan kesejahteraan bagi pelaku UMK, ternyata membuat kita mau tidak mau harus dapat melakukan hal yang sama. Pelajaran krisis ekonomi 1998 pun telah membuka mata kita tentang potensi UMK.

Melihat potensi itu, Presiden SBY pun menegaskan secara khusus peran Pemerintah bagi pemberdayaan program UMK pada Inpres 6/2007 tentang Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dan Inpres 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009. Berbagai program pembiayaan bagi UMK pun ditingkatkan, mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), Revitalisasi Perkebunan dan Energi Nabati (KPEN-RP), PNPM Mandiri dan melanjutkan program Kredit Ketahanan Pangan (KKP-E) dan Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK).

Seperti yang saya bilang di atas, saya khawatir dengan program-program pemberdayaan ini. Banyak skema pembiayaan yang dibangun, namun terkadang road map nya hampir tidak jelas. Contoh, program untuk sektor pertanian, seperti KKP-E dan KPEN-RP. Pola insentif subsidi bunga diberikan oleh Pemerintah atas kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMK (petani/peternak/pekebun/nelayan). Skema kredit mulai dari kriteria UMK, persyaratan dan komoditas/kegiatan usaha ditetapkan oleh Dept. Teknis (Deptan dan DKP), dan penilaian kelayakan pembiayaan diserahkan sepenuhnya kepada Perbankan. Namun, di sisi lain, persoalan koordinasi sangat mengganjal percepatan program ini. Pada Revitalisasi Perkebunan misalnya, masalah sertifikasi menjadi hambatan utama para pekebun untuk mengakses pembiayaan perbankan. Permasalahan lahan, perijinan dari Pemerintah Daerah seringkali tidak sejalan dengan apa yang ingin dicapai pada program ini.

Contoh lain, subsidi pupuk masih tetap dialokasikan pada APBN. Secara pribadi saya kurang sependapat. Subsidi pupuk salah satu penyebab utama kelangkaan pupuk yang kerap saya temui ketika berbincang-bincang dengan para pelaku UMK. Pupuk bersubsidi (dari pemantauan saya) kerap diselewengkan. Tak heran, ketika sangat dibutuhkan oleh pelaku UMK (petani), kehadirannya sangat sulit ditemukan.

Perlu ada skim kredit terpadu. Pola sinergi antara Pemerintah dengan perbankan yang saat ini dilakukan saat ini sudah cukup memadai. Cuma, skim perlu diperluas, dan terkait dengan program pemerintah lainnya. Seperti contoh pupuk bersubsidi dan program KKP-E.

Pupuk sebaiknya dilepas dengan harga pasar untuk menghindari penyelewengan. Biaya pembelian pupuk dimasukkan dalam komponen pembiayaan kepada petani. Anggaran subsidi pupuk dialihkan untuk meningkatkan insentif subsidi bunga dan insentif produksi (yaitu diberikan dalam bentuk tunai kepada petani apabila target komoditas pangan secara nasional terpenuhi). Untuk menghindari meningkatnya harga beras akibat kenaikan ongkos produksi petani, Pemerintah perlu menetapkan harga standar pembelian gabah/pengendalian harga kepada Bulog. Subsidi pupuk TA 2009 sebesar Rp31 triliun lebih dari cukup untuk alokasi subsidi bunga dan insentif bagi petani serta kompensasi Bulog.

Memang, ini hanya gambaran kasar saya. Intinya adalah, harmonisasi kebijakan itu penting. Tidak berpikir departemental atau hanya berpikir target kinerja masing2 program instansi. Suksesnya suatu pelayanan publik tidak diukur dari berapa banyak anggaran yang direalisasikan, tetapi berapa besar manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

No comments: