Monday, June 1, 2009

Cermati Presiden Pilihan Anda

Menjelang Pemilu Presiden (pilpres) pada awal bulan depan, (seperti biasa) kegiatan "sosialisasi" citra dan sosok capres dan cawapres kembali menjadi tajuk berita pada berbagai media. Kegiatan sarasehan, peresmian ini-itu, pengajian dan lain-lain mendadak menjadi agenda rutin setiap capres-cawapres. Bahkan, salah satu kandidat capres mengaku dalam satu hari bisa menghadiri kegiatan model begini sampai 12 kali! Wuiih, perlu stamina yang lebih niy.. :).

Sudah menjadi hal yang "biasa", para calon pres dan wapres ini mendadak sangat mudah ditemui atau bahkan hadir saat diundang dalam kegiatan2 yang melibatkan massa. Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan dan 'kurang penting' pada saat mereka terpilih atau bahkan ketika menjadi pecundang. Sangat jarang seorang capres/cawapres ketika kalah pada pilpres sebelumnya tampil dalam hal2 serupa. Entahlah, apa karena media tidak meliput atau seperti dugaan saya, bahwa mereka lebih sibuk pada urusan intern partainya dengan sekali-sekali mengkritik pemerintah yang berkuasa.

Para kandidat, seperti yang tampil pada layar kaca, mejadi lebih perhatian dan peduli atas keluh kesah yang disampaikan oleh massa. Bahkan di salah satu talkshow interaktif dengan para masyarakat usaha mikro dan kecil, semua uneg2 itu ditanggapi serius dan dijanjikan oleh capres itu akan segera ditindaklanjuti. Salah satu hal menjadi perhatian saya adalah ketika salah seorang perwakilan petani menyampaikan uneg2nya tentang hasil komoditasnya yang tidak dapat menyukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini diakibatkan tingginya ongkos produksi dan kurangnya akses modal serta informasi distribusi yang sangat terbatas. Sang capres lalu menanggapi akan segera meminta departemen terkait untuk segera menuntaskan persoalan tersebut sesegera mungkin.

Buat saya, persoalan ini bukan serta merta selesai atau tidak dalam waktu cepat. Persoalan mendasar sehingga permasalahan yang dihadapi oleh petani tadi bahkan sebagian besar petani kita, adalah masalah kebijakan yang disampaikan pemerintah tidak pernah konsisten dan tidak memiliki cetak biru pembangunan pertanian nasional. Hal ini disebabkan para capres tidak secara gamblang memperhatikan kesinambungan antara program dan kebijakan pembangunan yang dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Perbedaan platform program itu pasti, namun harus pula mempertimbangkan bahwa program yang tengah berjalan dan secara nyata berdampak langsung pada perbaikan ekonomi rakyat, kenapa mesti diputus? Atau menciptakan program dan kebijakan baru yang sejenis dengan kebijakan sebelumnya?

Contoh kongkrit adalah kebijakan kredit program yang merupakan kebijakan dan program pemerintah untuk pengembangan usaha produktif. Kebijakan ini telah berjalan sejak satu dasawarsa lalu, dan hingga saat ini tetap berjalan. Yang berubah adalah penyesuaian2 kebijakan yang saat ini dianggap berpotensi menimbulkan tidak efisiennya pengeluaran negara.

Dan, satu lagi, sepertinya jualan program pro rakyat dan ekonomi kerakyatan yang diusung oleh capres pada pilpres mendatang, menurut saya, lebih merupakan strategi penggalangan dukungan. Bukan pada program kongkrit yang dapat dilaksanakan apabila sang capres memerintah. Jargon ekonomi kerakyatan, saya menduga, lebih karena kenyataan bahwa salah satu kandidat capres/cawapres memiliki rekam jejak tingkat pengetahuan akademis yang lebih baik dibanding capres lain (bukan pada rekam jejak kebijakan yang dibuat sebelumnya). Ini terlihat dari upaya mengaburkan makna paham "NEOLIBERALISM" menjadi seolah-olah merupakan bahaya laten layaknya bahaya komunisme (sebagaimana disampaikan salah satu anggota tim sukses di media cetak). Saya sangat khawatir, jargon2 'PRO RAKYAT' semata-mata lebih pada upaya tujuan jangka pendek, tidak kongkrit. Jadi, cermati pilihan anda.

Salam.

1 comment:

Blog Watcher said...

CAPRES DAN CAWAPRES MULAI SALING SERANG

Hardikan, kecaman, hinaan mulai dilakukan para capres dan cawapres. Tim sukses pun tak mau ketinggalan, mulai melancarkan aksi balasan.

Mendengar kata demi kata aksi tersebut, hati serasa miris jadinya. mereka saling memburukkan, membingungkan saling serang mempertontonkan pola kampanye yang tidak sehat.

Sempitnya fikiran tim sukses pemenangan capres dan cawapres tentang strategi dan karakter calon yang diusung semakin terlihat jelas. Mereka tidak menjelaskan kepada publik apa visi dan misi capres dan cawapresnya. Yang terjadi saling serang, saling memburukkan, debat kusir. Semua yang dilakukan justru akan semakin memperparah keadaan.

Dalam mata khayal, terbayang bagaimana jika budaya saling menyerang ini berimbas ke tingkat bawah. Semua bisa menimbulkan gesekan antar simpatisan calon. Yang kalah akan terjajah, marah, sehingga menimbulkan tawuran antar pendukung.

sumber:http://asyiknyaduniakita.blogspot.com/