Monday, April 6, 2009

Kredit Program di Persimpangan Jalan (?)


Akhir pekan lalu, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sehingga menjadi 7,5%. Bila dilihat kembali, sejak Desember 2008 lalu, BI telah menurunkan tingkat bunga acuan ini sebanyak empat kali dengan penurunan sebesar 200 basis poin (sekira 2%). Melongok ke belakang, progresivitas BI menurunkan suku bunga acuan ini tidak terlepas dari kondisi makro ekonomi yang terjadi secara global dan berdampak signifikan bagi perekonomian nasional, terutama untuk menekan laju inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia. Setidaknya, kondisi itulah yang menjadi pertimbangan utama BI sebagaimana diungkapkan oleh Gubernur BI Boediono (Tempo,6/4).

Penurunan BI rate diharapkan dapat memicu aktifitas pembiayaan yang dilakukan perbankan, yaitu dengan menurunkan interest rate. Upaya peningkatan pembiayaan bagi sektor-sektor produktif, merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengurangi dampak inflasi dan ancaman krisis ekonomi. Namun, pada saat bersamaan, kondisi likuiditas perbankan berada dalam kondisi yang kurang menggembirakan. Dampak krisis pembiayaan sub-prime morgage di AS ternyata memberikan efek domino bagi pasar uang domestik, sehingga perbankan sangat selektif dalam ekspansi pembiayaan. Akibatnya, sejak akhir Desember 2008 lalu, pembiayaan perbankan menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya perbankan semakin giat mencari sumber likuiditas dan sepertinya enggan untuk melakukan penyesuaian tingkat bunga kredit, termasuk salah satunya untuk pembiayaan kredit program.

Umumnya, pembiayaan kredit program yang dijalankan Pemerintah dengan bekerja sama dengan Perbankan memiliki struktur pembiayaan mengikuti perkembangan tingkat bunga pasar, yaitu mengikuti tingkat bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral (BI) atau lembaga penjaminan simpanan (LPS). Memperhatikan kondisi pangsa pembiayaan yang terjadi saat ini, dimana tingkat bunga perbankan tidak lagi mengacu kepada tingkat bunga acuan, tentunya terjadi kondisi perbedaan penerapan tingkat bunga kredit program. Sebagai ilustrasi, rata-rata tingkat bunga kredit komersial yang berlaku saat ini berkisar antara 15% hingga 17%, dimana seharusnya dengan mengacu BI rate 7,5%, maka tingkat bunga ideal berkisar antara 11% hingga 12-12,5%. Untuk kredit program (dengan pola subsidi bunga) misalnya, tingkat bunga rata-rata berkisar 13,25% s.d 14,25% (dengan tingkat bunga LPS saat ini sebesar 8,25%).

Memperhatikan hal tersebut di atas, terdapat perbedaan tingkat bunga yang relatif signifikan antara tingkat bunga pasar dan tingkat bunga kredit program. Dan tentunya, secara logis, alternatif pembiayaan yang dipilih perbankan adalah yang memberikan margin bunga yang lebih menguntungkan. Lalu, bagaimana dengan kredit program?


Strategi kebijakan yang berpihak kepada UMK sepertinya lebih realistis ketimbang Pemerintah menerapkan kebijakan yang cenderung berpihak kepada perbankan. Memang, Pemerintah tidak bisa mengesampingkan kondisi sulit yang sedang dihadapi perbankan, dimana terdapat kecenderungan pada akhir-akhir ini sangat intensif menghimpun sumber-sumber likuiditas (dengan iming-iming bunga deposito tinggi yang jauh dari BI rate. Akibatnya, terjadi perang bunga deposito dengan iming-iming bunga tinggi, yaitu hingga mencapai 11-12%). Tak dapat dipungkiri bahwa, langkah ini dilakukan agar tidak bernasib sama seperti yang dialami oleh Bank Century.

Untuk itu, perlu kebijakan/regulasi yang lebih memprioritaskan pada upaya percepatan pemulihan ekonomi secara makro yaitu dengan menjaga kestabilan nilai tukar, menekan laju inflasi dan lebih penting lagi pada saat sekarang ini adalah penciptaan investasi-investasi baru yang lebih menarik. Sebenarnya sudah ada beberapa kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan dan perkuatan modal bagi UMK sebagai investasi baru yang cukup menarik, diantaranya pengembangan infrastruktur dengan pola kemitraan Pemerintah-Swasta (Public Private Partnerships), pemberdayaan pertanian terutama pengembangan hasil-hasil perkebunan dan peternakan. Namun, dari kacamata perbankan, yang dibutuhkan saat ini adalah investasi jangka pendek, yang memberikan margin keuntungan maksimal. Dan sayangnya, investasi jangka pendek sektor pertanian masih belum menjadi skala prioritas pembiayaan perbankan, terutama pada skim kredit program.

Sebagai salah satu program pemberdayaan sektor usaha mikro, tentunya permasalahan yang dihadapi kredit program ini telah menjadi concern Pemerintah. Ditambah lagi dengan kondisi pasar komoditas pertanian dunia yang masih belum menggembirakan. Hal ini mengharuskan Pemerintah -tentunya dengan partisipasi perbankan nasional -harus lebih "kreatif" menanggapi kondisi tersebut di atas. Diperlukan insentif atau kebijakan yang lebih diarahkan untuk memberikan perlindungan kepada para pelaku UMK, terutama pada sektor-sektor strategis seperti pertanian. Misalnya, memberikan jaminan tingkat bunga rendah, perluasan akses pasar dengan menjamin pembelian produk-produk UMK, memperkuat jaringan penyuluh pertanian di lapangan, perkuatan modal bagi UMK dan menjamin pasokan dan distribusi alat-alat/komponen produksi -terutama pupuk untuk petani.

Dengan memberikan akses dan jaminan distribusi produk-produk UMK dan pertanian pada pasar domestik/internasional, memperkuat permodalan (sebagai salah satu syarat pembiayaan) dan menjamin ketersediaan sarana pendukung lainnya (pupuk, irigasi, bibit dan lainnya), maka rasanya sangat kurang pantas apabila ada perbankan yang tidak mau membiayai kegiatan UMK ini.

1 comment:

Trisna Eka Wijaya said...

Bagaimana prospek kredit program dengan pola bagi hasil?