Thursday, May 31, 2007

Buku Gratis dan Roman Pujangga Lama

Kemarin, Rabu (30/5), Fisher Library -perpustakaan di kampusku- bagi-bagi buku gratis. Sebagian besar koleksi-koleksi yang berlabel "undergraduate" dibagikan secara percuma. Label "undergraduate" itu bukan berarti buku-buku tersebut hanya untuk mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di tingkat bachelor. Yang saya tahu pasti, label itu menunjukkan bahwa buku-buku tersebut hanya boleh dipinjam dalam jangka
waktu satu minggu saja. Berbeda dengan buku-buku berlabel "research" yang boleh dipinjam dalam kurun waktu yang lebih panjang, satu bulan. Ada banyak lagi label buku di Fisher Library ini, tergantung peruntukkan koleksinya.

Nah, buku-buku tersebut kemarin dibagikan secara percuma. Dan tentu saja, kesempatan emas dan langka ini dimanfaatkan oleh kebanyakan mahasiswa, dan tidak sedikit dari kalangan non-mahasiswa (lho kok ada dikotomi begini?). Tapi, terlepas dari itu cukup banyak koleksi yang dibagikan, ribuan jumlahnya. Dan buku-buku yang dibagikan bukan cuma koleksi lama, tapi beberapa juga baru (ya, paling tidak hingga 1998). Hanya saja, jenis koleksi meliputi bidang studi ekonomi, hukum, ilmu-ilmu social, politik, literatur/sastra, sosiologi, musik dan sejarah serta beberapa koleksi tentang komputer dan teknologi. Untuk bidang studi yang lain, mungkin akan ada kegiatan yang sama di masa yang akan datang.

Saya baru tahu ada bagi-bagi buku gratis ini setelah diberitahu oleh seorang teman. Siang jam 1.30pm.
Dia telpon, katanya, "Bos, ada bagi-bagi buku gratis di Fisher. Elu di mana?"
Jawab saya, "Di rumah. Serius luh? Sampe jam berapa?"
"Sampe Fisher tutup kayaknya" tukasnya.
Sambung saya, "Ok deh. Segera meluncur".
Dan saya pun bergegas bersalin pakaian (hehehe... belum mandi pagi) dan pun bergerak menuju kampus, yang kurang lebih 30 menit perjalanan bus 426 (Dulwich Hill-City).

Sampai Fisher sekitar jam 2-an dan langsung naik ke Lantai 9. Lirak-lirik koleksi buku yang dibagiin yang tersusun dalam rak-rak yang sudah diberikan label masing-masing jenis bidang studi. Beberapa koleksi buku yang menarik perhatian saya, langsung saya "amankan" dalam tas yang memang sudah disiapkan untuk menampung buku-buku tersebut. Di antara deretan buku-buku literatur dan karya sastra, mata saya menangkap sebuah buku kecil. Tidak ada judul di covernya yang berwarna coklat seperti warna kardus. Dijilid merah. Tidak tebal. Pada halaman depan, tertera judul

"ORANG - ORANG SIAL"
oleh
UTUY T. SONTANI
Sekumpulan tjerita tahun 1948 - 1950
Diterbitkan oleh Balai Pustaka - 1951 - Djakarta

Kemudian, masih dalam barisan yang sama, ada satu buku kecil lagi yang saya temukan. "Orang Buangan" sebuah karya sastra Harijadi S. Hartowardojo. Diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1971. Harijadi adalah seorang wartawan pada beberapa media yang terbit pada awal-awal kemerdekaan seperti Pudjangga Baru, madjalah Siasat dan Harian Kami. "Orang Buangan" adalah romannja yang pertama, begitu tulis biografi singkatnya pada sampul belakang buku itu. Dan sejurus kemudian, dua buah buku tersebut pun berpindah tempat ke dalam tas saya, bersama buku-buku lainnya.

Novel karya Utuy ini (bagi yang belum tahu siapa Utuy Sontani, dia adalah pengarang cerita si Kabayan) memang menarik perhatian saya sejak awal. Tak sabar rasanya untuk membaca gerangan 12 cerita pendek dalam novel tersebut.

Secara garis besar, roman karya Utuy Sontani ini memang bercerita seputar orang-orang yang mengalami nasib sial dalam melakoni kehidupan. Sial dalam arti bener-bener sial alias apes, merugi, gak sesuai harapan atau kecewa dengan keadaan yang dihadapi dan sial dalam arti ketika hendak berbuat atau melakukan sesuatu yang baik, namun tidak kesampaian. Contoh dari sial yang terakhir ini ada pada cerita terakhir "Usaha Samad". Samad, pemuda dari kampung yang datang ke Djakarta dengan maksud berdagang buku agama, akhirnya terpaksa berjualan gambar perempuan telanjang. Alasannya, "jang laku menurut keinginan zaman".

Sementara cerita pertama, "Paku dan Palu" cerita tentang kesialan Atma, seorang sol sepatu yang buta huruf harus mengungsi bersama istri dan anaknya ke pegunungan akibat aksi polisi yang dilancarkan oleh pasukan Belanda pada tahun 1947. Atma mengalami berbagai kesialan mulai dari kelaparan akibat tidak adanya orang yang memperbaiki sepatu kepadanya, anaknya jatuh sakit dan kemudian meninggal lantaran kurang vitamin dan kurang makan. Dan puncak kesialannya adalah ketika ia ditembak mati oleh patroli polisi lantaran dianggap gila.

Adapula cerita orang sial lainnya dalam "Djagamalam", "Keluarga Wangsa", "Badut". Kesialan tokoh-tokoh dalam cerita ini sangat beragam. Dan yang menarik, Utuy mampu membuat cerita sederhana ini menjadi lebih hidup lantaran sebagai pembaca, secara pribadi, saya mampu merasakan kegetiran dan kesialan para tokoh dalam berbagai cerita tersebut. Bertutur Utuy dengan bahasa lugas, terang dan alur cerita yang lekat dengan kenyataan sehari-hari.

Dalam cerita "Badut" misalnya. Bagaimana kegetiran seorang klerk yang berharap promosi ke kedudukan yang lebih tinggi, harus menelan kegetiran karena dipindahtugaskan lantaran kepribadiannya yang melihat orang-orang sekitarnya dengan penuh rasa humor. Trengginas. Padahal, tokoh aku dalam cerita ini merupakan sosok pekerja yang ideal sebagai seorang klerk (PNS) yang cergas, tangkas, tanggung jawab dan berpikir positif terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya.

Entahlah, tapi yang aku tangkap dari cerita itu, jangan pernah berharap lebih tinggi kalau cuma mengandalkan kemampuan sendiri. Koneksi itu perlu. Bahkan penting dan menjadi hal utama! Tapi, mungkinkah hal itu masih jadi berlaku saat jaman nan modern ini?

Ah, mudah-mudahan itu hanya roman Utuy saja.

Wassalam.

1 comment:

doverwhite said...

gon, pinjem dong bukunya...

"hikayat sang gogon"

merantau ke negeri seberang hendak mencari ilmu.. tapi malah jadi pemain bintang pilem panas.. :D