Monday, April 27, 2009

Bank Pertanian, Perlukah?

Beberapa minggu belakangan ini, seringkali saya mendengar beberapa pihak mengemukakan bahwa untuk mempercepat pemberdayaan sektor pertanian diperlukan adanya satu lembaga pembiayaan/keuangan khusus membiayai kegiatan usaha sektor-sektor produktif pertanian, terutama bagi usaha pertanian produktif skala mikro dan kecil. Lembaga tersebut, menurut mereka, mengadopsi model pembiayaan perbankan namun hanya terbatas bagi pertanian, tidak pada sektor-sektor lain sebagaimana umumnya perbankan yang ada saat ini. Usulan ini menarik, mengingat secara rata-rata penyaluran pembiayaan/kredit pertanian dibanding sektor lain (perdagangan, konstruksi, jasa dll) masih cukup rendah, yaitu hanya sekira dibawah 10%. Salah satu penyebabnya adalah karena pembiayaan kegiatan usaha pertanian, bila dilihat dari sisi risiko pembiayaannya, relatif lebih besar ketimbang sektor lain. Sehingga, bagi perbankan hal ini menjadi acuan mendasar sebelum memutus kredit, selain masalah collateral (agunan).

Wacana pembentukan bank pertanian sendiri sebenarnya bukan hal baru. Beberapa waktu lalu (1988), Bank Agroniaga yang dibentuk oleh BUMN Perkebunan Nusantara dan sebagaimana visinya Bank ini ditujukan untuk mengembangkan sektor agribisnis sebagai fokus utamanya, walaupun secara umum terjun pada sektor lainnya. Dan, juga telah banyak publikasi yang mengulas peran pentingnya Bank Pertanian seperti halnya disini.

Lalu, belakangan muncul lagi "wacana" pembentukan Bank UKM oleh Meneg. Koperasi dan UKM. Walaupun tidak secara spesifik fokus pada sektor pertanian, Bank UKM ini (katanya) hanya akan melayani pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan koperasi yang bergerak pada usaha produktif pada semua sektor ekonomi. Bahkan, "embrio" Bank UKM ini telah dibentuk oleh Meneg. Kop dan UKM, yaitu Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB). Bahkan, katanya, pembentukan Bank ini akan dilaksanakan pada waktu dekat. (Ini akan saya bahas pada tulisan berikutnya)

Mengapa pertanian, terutama bagi pelaku usaha mikro dan kecil, menjadi begitu penting sehingga perlu diperlakukan secara "khusus"? Banyak alasan yang dapat dipaparkan untuk menjawab pertanyaan ini, dan mungkin ruang blog ini tidak akan cukup memaparkan hal itu. Beberapa diantaranya, dan yang paling prinsipil adalah karena sektor pertanian merupakan kegiatan yang paling sesuai dengan kondisi geografis dan tipikal bangsa ini sejak dulu. Namun, pada saat bersamaan, potensi ini cenderung kurang mendapat perhatian, terutama dari sisi pembiayaan. Memang, setiap tahun Pemerintah selalu mengalokasikan anggaran bagi pengembangan usaha pertanian, baik berupa subsidi maupun bantuan langsung dalam bentuk dana dan alat2 pertanian (alsintan).

Peranan Pemerintah yang diwujudkan dalam APBN tidak diikuti dengan program pembinaan yang signifikan oleh instansi-instansi terkait. Lemahnya koordinasi pelaksanaan program pembangunan pertanian, terutama antara Pusat dan Daerah mengakibatkan hingga saat ini (setahu saya), Indonesia belum punya cetak biru pembangunan pertanian yang jelas. Selama ini, pertanian diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Itu saja. Kalaupun ada upaya pengembangan pertanian ke arah industri yang lebih berpihak pada petani, misalnya KUT, PIR, tidak diikuti oleh konsep yang jelas target dan sasaran pemberdayaan petani. Akibatnya, banyak kredit program kurang berhasil, dan bahkan tidak sedikit petani yang hingga saat ini masih terbelit utang dan menjadi korban. Peran penyuluh pertanian pun sepertinya "nyaris tak terdengar". Masalah kualitas penyuluh kerap kali menjadi persoalan. Ada yang bilang, hal ini diakibatkan rendahnya kompensasi yang diterima oleh para penyuluh.

Berbagai kendala dan hambatan itulah, wacana Bank Pertanian akhir-akhir ini kembali diungkapkan. Namun, buat saya, sepertinya perlu kajian mendalam sebelum rencana ini dilaksanakan. Tujuan pembentukan bank ini, saya rasa tidak ada yang menyangkal, pemberdayaan dan pengembangan usaha pertanian yang lebih berpihak pada petani skala mikro dan kecil sangat perlu didukung. Yang perlu dikaji adalah model, peran dan skema bisnis pertanian yang akan dikelola oleh Bank Pertanian ini. Sebagai lembaga perbankan, bank ini tunduk pada peraturan Bank Indonesia, terutama menyangkut ketentuan dan kriteria penyaluran kredit, tingkat kecukupan modal, batas pinjaman macet (NPL), dan ketentuan lainnya sebagaimana bank konvensional yang ada saat ini.

Kajian Litbang Deptan mengemukakan perlu adanya syarat mutlak yang harus dapat dipenuhi sebelum bank ini dibentuk. Diantaranya, masalah SDM, manajemen, teknologi informasi dan peranan pemerintah. Selebihnya, operasionalisasi bank pertanian dapat mengadopsi bank pertanian yang telah dipraktekkan oleh negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Korea dan lain-lain. Perlu disadari bahwa potensi dan kondisi pertanian Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara tersebut, sehingga untuk memenuhi persyaratan tadi dibutuhkan waktu yang sangat lama dan butuh biaya yang sangat besar. Peranan Pemerintah saat ini untuk pengembangan pertanian (rasanya) sudah cukup memadai. Persoalannya justru pada pelaksanaanya dan koordinasi antar instansi baik pusat maupun daerah. Saya khawatir, apabila pembentukan Bank Pertanian ini dipaksakan akan menjadi sangat tidak efektif.

Kondisi riil yang mungkin sangat realistis dan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat adalah memaksimalkan peran perbankan nasional, terutama yang berstatus BUMN seperti BRI, Mandiri, BNI dan bank lainnya. Jaringan, sistem, operasional dan SDM hampir sudah dapat dipenuhi oleh perbankan nasional ini. Tinggal, bagi saya, Pemerintah perlu memikirkan agar kegiatan usaha pertanian/agribisnis menjadi menarik, feasible, memiliki pasar yang jelas dan memastikan ketersediaan dukungan jaringan infrastruktur bagi petani. Kredit program yang ada (KKP-E, KPEN-RP, KUR) merupakan "ruh" dari kerjasama Pemerintah dan Perbankan untuk meningkatkan potensi pertanian dan perluasan akses pembiayaan.

Hanya saja, perlu disesuaikan agar skim kredit program ini menjadi lebih menarik, tidak hanya memberikan kesempatan luas bagi petani untuk akses dana dan pengembangan usaha tetapi juga memberikan insentif kepada perbankan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan kredit program oleh perbankan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan bisnis dan kinerja kredit. Untuk itu, apabila Pemerintah ingin berupaya mempercepat program pengembangan pertanian, setidaknya perlu mempertimbangkan insentif kepada perbankan ini, seperti peninjauan margin tingkat bunga, sosialisasi potensi pertanian dan adanya penjaminan Pemerintah terhadap objek pendanaan.

Monday, April 6, 2009

Kredit Program di Persimpangan Jalan (?)


Akhir pekan lalu, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sehingga menjadi 7,5%. Bila dilihat kembali, sejak Desember 2008 lalu, BI telah menurunkan tingkat bunga acuan ini sebanyak empat kali dengan penurunan sebesar 200 basis poin (sekira 2%). Melongok ke belakang, progresivitas BI menurunkan suku bunga acuan ini tidak terlepas dari kondisi makro ekonomi yang terjadi secara global dan berdampak signifikan bagi perekonomian nasional, terutama untuk menekan laju inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia. Setidaknya, kondisi itulah yang menjadi pertimbangan utama BI sebagaimana diungkapkan oleh Gubernur BI Boediono (Tempo,6/4).

Penurunan BI rate diharapkan dapat memicu aktifitas pembiayaan yang dilakukan perbankan, yaitu dengan menurunkan interest rate. Upaya peningkatan pembiayaan bagi sektor-sektor produktif, merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengurangi dampak inflasi dan ancaman krisis ekonomi. Namun, pada saat bersamaan, kondisi likuiditas perbankan berada dalam kondisi yang kurang menggembirakan. Dampak krisis pembiayaan sub-prime morgage di AS ternyata memberikan efek domino bagi pasar uang domestik, sehingga perbankan sangat selektif dalam ekspansi pembiayaan. Akibatnya, sejak akhir Desember 2008 lalu, pembiayaan perbankan menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya perbankan semakin giat mencari sumber likuiditas dan sepertinya enggan untuk melakukan penyesuaian tingkat bunga kredit, termasuk salah satunya untuk pembiayaan kredit program.

Umumnya, pembiayaan kredit program yang dijalankan Pemerintah dengan bekerja sama dengan Perbankan memiliki struktur pembiayaan mengikuti perkembangan tingkat bunga pasar, yaitu mengikuti tingkat bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral (BI) atau lembaga penjaminan simpanan (LPS). Memperhatikan kondisi pangsa pembiayaan yang terjadi saat ini, dimana tingkat bunga perbankan tidak lagi mengacu kepada tingkat bunga acuan, tentunya terjadi kondisi perbedaan penerapan tingkat bunga kredit program. Sebagai ilustrasi, rata-rata tingkat bunga kredit komersial yang berlaku saat ini berkisar antara 15% hingga 17%, dimana seharusnya dengan mengacu BI rate 7,5%, maka tingkat bunga ideal berkisar antara 11% hingga 12-12,5%. Untuk kredit program (dengan pola subsidi bunga) misalnya, tingkat bunga rata-rata berkisar 13,25% s.d 14,25% (dengan tingkat bunga LPS saat ini sebesar 8,25%).

Memperhatikan hal tersebut di atas, terdapat perbedaan tingkat bunga yang relatif signifikan antara tingkat bunga pasar dan tingkat bunga kredit program. Dan tentunya, secara logis, alternatif pembiayaan yang dipilih perbankan adalah yang memberikan margin bunga yang lebih menguntungkan. Lalu, bagaimana dengan kredit program?


Strategi kebijakan yang berpihak kepada UMK sepertinya lebih realistis ketimbang Pemerintah menerapkan kebijakan yang cenderung berpihak kepada perbankan. Memang, Pemerintah tidak bisa mengesampingkan kondisi sulit yang sedang dihadapi perbankan, dimana terdapat kecenderungan pada akhir-akhir ini sangat intensif menghimpun sumber-sumber likuiditas (dengan iming-iming bunga deposito tinggi yang jauh dari BI rate. Akibatnya, terjadi perang bunga deposito dengan iming-iming bunga tinggi, yaitu hingga mencapai 11-12%). Tak dapat dipungkiri bahwa, langkah ini dilakukan agar tidak bernasib sama seperti yang dialami oleh Bank Century.

Untuk itu, perlu kebijakan/regulasi yang lebih memprioritaskan pada upaya percepatan pemulihan ekonomi secara makro yaitu dengan menjaga kestabilan nilai tukar, menekan laju inflasi dan lebih penting lagi pada saat sekarang ini adalah penciptaan investasi-investasi baru yang lebih menarik. Sebenarnya sudah ada beberapa kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan dan perkuatan modal bagi UMK sebagai investasi baru yang cukup menarik, diantaranya pengembangan infrastruktur dengan pola kemitraan Pemerintah-Swasta (Public Private Partnerships), pemberdayaan pertanian terutama pengembangan hasil-hasil perkebunan dan peternakan. Namun, dari kacamata perbankan, yang dibutuhkan saat ini adalah investasi jangka pendek, yang memberikan margin keuntungan maksimal. Dan sayangnya, investasi jangka pendek sektor pertanian masih belum menjadi skala prioritas pembiayaan perbankan, terutama pada skim kredit program.

Sebagai salah satu program pemberdayaan sektor usaha mikro, tentunya permasalahan yang dihadapi kredit program ini telah menjadi concern Pemerintah. Ditambah lagi dengan kondisi pasar komoditas pertanian dunia yang masih belum menggembirakan. Hal ini mengharuskan Pemerintah -tentunya dengan partisipasi perbankan nasional -harus lebih "kreatif" menanggapi kondisi tersebut di atas. Diperlukan insentif atau kebijakan yang lebih diarahkan untuk memberikan perlindungan kepada para pelaku UMK, terutama pada sektor-sektor strategis seperti pertanian. Misalnya, memberikan jaminan tingkat bunga rendah, perluasan akses pasar dengan menjamin pembelian produk-produk UMK, memperkuat jaringan penyuluh pertanian di lapangan, perkuatan modal bagi UMK dan menjamin pasokan dan distribusi alat-alat/komponen produksi -terutama pupuk untuk petani.

Dengan memberikan akses dan jaminan distribusi produk-produk UMK dan pertanian pada pasar domestik/internasional, memperkuat permodalan (sebagai salah satu syarat pembiayaan) dan menjamin ketersediaan sarana pendukung lainnya (pupuk, irigasi, bibit dan lainnya), maka rasanya sangat kurang pantas apabila ada perbankan yang tidak mau membiayai kegiatan UMK ini.