Thursday, May 6, 2010

Dia... Sri Mulyani Indrawati


Entah kenapa saya sedikit tercenung begitu mendapat sebuah pesan Blackberry Messenger dari seorang teman bahwa Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI) akan segera meninggalkan kami. Teman itu meneruskan sebuah berita yang ia unduh dari sebuah majalah berbahasa Inggris.
Sontak saya berpikir, inikah akhir dari tekanan politik yang lebih setahun ini dipikul oleh SMI? Antara kehilangan dan syukur, perasaan yang saya rasakan. Saya merasa kehilangan seorang 'role model' birokrat sejati. Saya sadar, SMI bukanlah berasal dari kalangan birokrat. Tetapi SMI berhasil memberikan contoh bahwa birokrat adalah persoalan profesionalitas, integritas dan kemauan untuk berubah. Sesuatu yang sudah hampir terlupakan. Sesuatu yang menyadarkan arti dan peran seorang birokrat. Sesuatu yang dikenal dengan REFORMASI BIROKRASI yang seolah mampu 'membangunkan' para birokrat yang dicap sebagai 'mesin' yang lamban, tambun dan tidak efisien.
Kehilangan, saat pekerjaan besar reformasi belum selesai, SMI harus pergi. Kehilangan, saat SMI diminta untuk mengakhiri masa tugasnya. Kehilangan, saat terakhirnya bersama kamipun orang-orang diluar sana masih ingin menambah beban yang harus dipikulnya.

Saya menyadari bahwa dibalik perasaan kehilangan, rasa syukur cukup besar saya rasakan. Saya bersyukur karena saya diberi kesempatan menjadi salah satu bagian dalam pekerjaan besar SMI. Saya bersyukur bahwa akhirnya sosok birokrat sejati saya dapatkan dari seorang SMI.
Saya bersyukur SMI telah menjadi sosok seorang role model bagi semua birokrat di negeri ini atau setidaknya buat saya pribadi. Namun, terakhir rasa syukur saya adalah dibalik semua tekanan dan cobaan yang dihadapi, SMI tetap tegar, tetap bekerja keras dengan profesional dan penuh integritas.
Setidaknya, saya juga bersyukur ditengah cobaan yang dihadapi, masih ada orang-orang yang mengapresiasi kapabilitas dan profesionalisme SMI. Dan sayangnya, penghargaan itu tidak datang dari negeri ini. Negeri yang selalu diimpikan oleh SMI sebagai negeri yang bermartabat, negeri yang
bersih, negeri dimana birokratnya menjadi motor untuk membawa perubahan yang lebih baik. Negeri dimana SMI dapat menyumbangkan seluruh tenaga dan pikirannya yang 'sangat unik' bagi perubahan birokrasi yang lebih baik. Negeri dimana para birokratnya tidak lagi merasa inferior dengan bangsa dari negara lain, namun superior bila hendak melayani bangsa sendiri. Rasa syukur bahwa dengan perginya SMI, birokrat di negeri ini dapat leluasa memilih: teruskan perubahan atau kembali ke belakang.

"Lanjutkan reformasi karena anda cinta negara ini". Itu pesan SMI kepada kami..
Selamat Jalan SMI. The World Awaits You...

Friday, June 12, 2009

Artikel Kompas

Sebuah artikel menarik tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR), sebuah program pembiayaan bagi usaha mikro dengan pola penjaminan. Silahkan klik di sini. Semoga bermanfaat.

Monday, June 1, 2009

Cermati Presiden Pilihan Anda

Menjelang Pemilu Presiden (pilpres) pada awal bulan depan, (seperti biasa) kegiatan "sosialisasi" citra dan sosok capres dan cawapres kembali menjadi tajuk berita pada berbagai media. Kegiatan sarasehan, peresmian ini-itu, pengajian dan lain-lain mendadak menjadi agenda rutin setiap capres-cawapres. Bahkan, salah satu kandidat capres mengaku dalam satu hari bisa menghadiri kegiatan model begini sampai 12 kali! Wuiih, perlu stamina yang lebih niy.. :).

Sudah menjadi hal yang "biasa", para calon pres dan wapres ini mendadak sangat mudah ditemui atau bahkan hadir saat diundang dalam kegiatan2 yang melibatkan massa. Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan dan 'kurang penting' pada saat mereka terpilih atau bahkan ketika menjadi pecundang. Sangat jarang seorang capres/cawapres ketika kalah pada pilpres sebelumnya tampil dalam hal2 serupa. Entahlah, apa karena media tidak meliput atau seperti dugaan saya, bahwa mereka lebih sibuk pada urusan intern partainya dengan sekali-sekali mengkritik pemerintah yang berkuasa.

Para kandidat, seperti yang tampil pada layar kaca, mejadi lebih perhatian dan peduli atas keluh kesah yang disampaikan oleh massa. Bahkan di salah satu talkshow interaktif dengan para masyarakat usaha mikro dan kecil, semua uneg2 itu ditanggapi serius dan dijanjikan oleh capres itu akan segera ditindaklanjuti. Salah satu hal menjadi perhatian saya adalah ketika salah seorang perwakilan petani menyampaikan uneg2nya tentang hasil komoditasnya yang tidak dapat menyukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini diakibatkan tingginya ongkos produksi dan kurangnya akses modal serta informasi distribusi yang sangat terbatas. Sang capres lalu menanggapi akan segera meminta departemen terkait untuk segera menuntaskan persoalan tersebut sesegera mungkin.

Buat saya, persoalan ini bukan serta merta selesai atau tidak dalam waktu cepat. Persoalan mendasar sehingga permasalahan yang dihadapi oleh petani tadi bahkan sebagian besar petani kita, adalah masalah kebijakan yang disampaikan pemerintah tidak pernah konsisten dan tidak memiliki cetak biru pembangunan pertanian nasional. Hal ini disebabkan para capres tidak secara gamblang memperhatikan kesinambungan antara program dan kebijakan pembangunan yang dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Perbedaan platform program itu pasti, namun harus pula mempertimbangkan bahwa program yang tengah berjalan dan secara nyata berdampak langsung pada perbaikan ekonomi rakyat, kenapa mesti diputus? Atau menciptakan program dan kebijakan baru yang sejenis dengan kebijakan sebelumnya?

Contoh kongkrit adalah kebijakan kredit program yang merupakan kebijakan dan program pemerintah untuk pengembangan usaha produktif. Kebijakan ini telah berjalan sejak satu dasawarsa lalu, dan hingga saat ini tetap berjalan. Yang berubah adalah penyesuaian2 kebijakan yang saat ini dianggap berpotensi menimbulkan tidak efisiennya pengeluaran negara.

Dan, satu lagi, sepertinya jualan program pro rakyat dan ekonomi kerakyatan yang diusung oleh capres pada pilpres mendatang, menurut saya, lebih merupakan strategi penggalangan dukungan. Bukan pada program kongkrit yang dapat dilaksanakan apabila sang capres memerintah. Jargon ekonomi kerakyatan, saya menduga, lebih karena kenyataan bahwa salah satu kandidat capres/cawapres memiliki rekam jejak tingkat pengetahuan akademis yang lebih baik dibanding capres lain (bukan pada rekam jejak kebijakan yang dibuat sebelumnya). Ini terlihat dari upaya mengaburkan makna paham "NEOLIBERALISM" menjadi seolah-olah merupakan bahaya laten layaknya bahaya komunisme (sebagaimana disampaikan salah satu anggota tim sukses di media cetak). Saya sangat khawatir, jargon2 'PRO RAKYAT' semata-mata lebih pada upaya tujuan jangka pendek, tidak kongkrit. Jadi, cermati pilihan anda.

Salam.