Sunday, July 22, 2007

Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan (bag. 1)

Akhir-akhir ini berita reformasi birokrasi di Departemen Keuangan cukup marak. Soalnya, isu utama yang disorot dalam reformasi ini adalah seputar kenaikan penghasilan bagi para pengelola keuangan negara di instansi plat merah tersebut. Perubahan struktur tunjangan bagi para pegawai Depkeu ditentukan oleh besar grade atau tingkatan, dari yang terendah 1 hingga 27, dimana besaran terkecil adalah sebesar Rp. 1,3 juta hingga tertinggi, yaitu Rp. 46 juta. Dan tak pelak, berbagai komentar dari pengamat ekonomi, anggota DPR, politisi menghiasi halaman surat kabar, televisi dan situs-situs internet mengenai besaran yang (katanya) cukup fantastis itu.

Sebagian besar, mempertanyakan argumen pemerintah yang menjadikan Depkeu sebagai pilot project reformasi birokrasi. Sebagian besar menuding bahwa kebijakan ini sepertinya tidak akan memberikan kontribusi bagi perubahan sistem birokrasi. Alasannya, birokrasi tidak hanya terkait dengan keuangan negara, banyak permasalahan institusional lainnya yang harus diselesaikan dalam proses reformasi itu. Harus ada keterkaitan institusi dan penyelarasan kebijakan antar departemen, sosialisasi dan target yang harus dicapai pemerintah. Dan terlebih, peningkatan kinerja gerbong raksasa yang bernama birokrasi itu, tidak bisa diukur melalui proses reformasi dalam satu instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan. Sehingga, wajar pada akhirnya banyak pihak yang pesimis.

Bukan hanya sebatas itu, besaran tunjangan berdasarkan sistem grade pun tak lepas dari kritik. Seorang pengamat ekonomi mengkritik bahwa dana yang dibutuhkan untuk perbaikan tunjangan para pegawai di Depkeu cukup fantastis, yaitu sekira Rp. 4,3 triliun. Sehingga dipertanyakan, sewajarnya kah dana sebesar itu "dihamburkan" di tengah kinerja birokrasi masih jauh dari harapan?

Bagi saya pribadi, ada dua hal yang berkecamuk dalam pikiran saya. Pertama, bersyukur adanya perubahan dalam struktur pernghasilan itu, seperti halnya para kolega yang lain di Departemen Keuangan. Terpikir bahwa kelak para abdi masyarakat seperti saya tidak harus berpikir keras lagi untuk mengais tambahan pendapatan dari bisnis kecil-kecilan (jualan kaos seperti sekarang ini) atau mengajar di perguruan tinggi setelah selesai kuliah dari sini. Dengan nominal penghasilan baru, paling tidak kebutuhan pokok untuk transport, makan, anak, istri sudah cukup memadai di tengah kenaikan barang-barang pokok belakangan ini. Keputusan ini, bagi saya, ibarat sebuah obat penenang, untuk mampu bekerja sebaik mungkin dan meningkatkan motivasi bekerja. Bagi saya, nominal itu cukup, walaupun dibanding dengan nominal para profesional muda di sektor swasta, besarannya masih cukup jauh.

Kedua, sudah tepatkah proses reformasi ini? Maksudnya begini. Penunjukkan Departemen Keuangan sebagai pilot project reformasi birokrasi itu berdasarkan apa? Kalau berargumen bahwa posisi strategis DepKeu sebagai pengelola keuangan negara, apakah Departemen atau institusi lainnya menjadi "kurang" strategis? Contoh Kepolisian dan TNI. Kita mungkin mahfum dan cukup tahu bahwa dua institusi bersenjata ini kondisinya cukup memprihatinkan, termasuk kualitas perbekalan, angkutan dan peralatan tempur yang menyedihkan. Terlebih lagi, dengan penghasilan "pas-pasan", banyak dari para "anggota" ini yang menjadi beking di dunia industri atau hiburan malam. Lalu, kita berharap kinerja mereka profesional, fokus terhadap masalah keamanan dan keutuhan wilayah NKRI. Lalu pertanyaannya, apakah peran mereka menjaga keamanan dan keutuhan negara menjadi "kurang" strategis? Pertanyaan yang sama juga terhadap para guru (bukan dosen), hakim dan lainnya.

Inilah yang membuat saya sedikit "malu". Khawatir bahwa proses reformasi birokrasi ini, pada masa akan datang, seperti yang ditakutkan oleh para pengamat itu. Tidak memberikan perubahan apa-apa terhadap kinerja birokrasi. Terlebih, ongkos reformasi itu bakal menguras lebih besar lagi anggaran dalam APBN. Padahal, target 20% anggaran pendidikan belum terpenuhi. Ditambah lagi dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan alokasi pembiayaan infrastruktur di tahun-tahun akan datang.

Saya tidak tahu pasti kelanjutan rencana Bu Menteri untuk mencari alternatif pembiayaan penghasilan pegawai DepKeu melalui pemberian bunga atas dana pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia. Sebagai badan moneter yang terlepas dari pemerintah, BI menikmati deviden investasi yang digunakan dari uang pemerintah itu. Seandainya ini dilakukan, tentunya anggaran reformasi "penghasilan" pegawai DepKeu bisa diambil dari hasil interest rekening pemerintah di BI, seperti halnya pegawai BI yang menikmati besaran gaji yang fantastis dari hasil proses investasi yang mereka lakukan.

Saya juga belum tahu pasti bagaimana proses reformasi ini akan dilaksanakan. Dan mengenai bagaimana dan seperti apa prosesnya, saya akan sambung lagi pada bagian 2 dari tulisan ini, setelah saya dapatkan cukup informasi mengenai ini.

Wassalam

No comments: