Thursday, March 6, 2008

Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan (bag. 2) dan Maaf

Sebelumnya saya mohon maaf bila blog ini sudah lama "mati". Bukan karena tidak ada waktu, tapi entah kenapa sejak kembali ke tanah air Juli tahun lalu, sepertinya tangan dan kepala ini enggan "menulis" dan "curtak" (curahan otak) di blog ini. Jadilah, blog ini terbengkalai. Dan rasa bersalah itu selalu menghantui saya karena, pertama, janji untuk mengisi blog minimal satu entry setiap bulan aku langgar. kedua, tulisan terakhir di blog ini, tentang reformasi birokrasi, belum tuntas. Janji, rasa bersalah dan komitmen buat saya itu sangat penting, terutama menyangkut kredibilitas dan kompetensi, dan saya telah menciderai komitmen saya sendiri.

Masalah komitmen ini menjadi sangat penting ketika itu berkenaan dengan harapan/ekspektasi pihak lain. Komitmen menjadi ukuran bagi satu pihak untuk mendalami tingkat kredibilitas dan kompetensi pihak lain. Pencideraan komitmen akan mengurangi tingkat trust di salah satu pihak.

Kondisi inilah yang menghantui pemerintah ketika menyatakan komitmennya dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Seandainya dapat saya klasifikasikan, komitmen reformasi birokrasi masih dalam tataran formatif dan "ideal", dalam artian bahwa reformasi diusung hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan birokrasi (birokrat) itu sendiri berdasarkan parameter ukur tertentu, belum mencapai tataran yang lebih jamak, yaitu peningkatan kinerja, koordinasi dan sinkronisasi program inter-departemen, apalagi langsung dapat dirasakan oleh publik dan yang terpenting adalah reformasi mental birokrat. Memang, sebagai pilot project reformasi birokrasi, Depkeu secara konsisten (hingga saat ini) mampu beradaptasi dengan semakin kompleks dan tingginya tuntutan publik. Terobosan baru seperti pada sektor penerimaan (pajak dan bea) sangat intens dilakukan melalui penyederhanaan proses bisnis dan ekstensifikasi potensi penerimaan negara dari sektor pajak.

Namun, di sisi lain, reformasi tidak diikuti oleh departemen yang "belum" direformasi. Alasannya, renumerasi alias penghasilan belum sesuai dengan yang sudah direformasi. Inilah alasan utama kenapa aroma reformasi di birokrasi ibarat sayup-sayup tak sampai dirasakan oleh publik. Saya sendiri jadi bertanya, seandainya tidak ada kompensasi berupa remunerasi, bisakah reformasi ini berjalan? Atau birokrat hanya sekumpulan ignorant yang merasa bahwa penghasilan yang diterima merupakan "hasil kinerja" mereka semata tanpa sadar seberapa besar manfaat "kinerja" mereka itu bagi masyarakat?